Thursday, July 30, 2009

TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN ANAK HASIL PERKAWINAN SIRI DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

Sebagaimana diketahui, bahwa dasar terbentuknya sebuah keluarga adalah perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) dalam Pasal 1 memberikan pengertian tentang perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.


Sedangkan R Subekti, memberikan pengertian perkawinan sebagai pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.
Dari pengertian perkawinan tersebut di atas, jelaslah bahwa perkawinan merupakan lembaga suci dan berkekuatan hukum. Dengan adanya perkawinan akan memberi kejelasan status dan kedudukan anak yang dilahirkan. Anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan merupakan anak sah yang memiliki hubungan perdata dengan bapak dan ibunya. Mengenai pengertian anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan menurut Pasal 250 KUH Perdata, anak sah adalah anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.
Dengan melihat ketentuan mengenai anak sah yang tersebut dalam Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata, dapat ditarik pengertian bahwa anak sah adalah anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang sah pula. Sedangkan terhadap perkawinan yang tidak sah, anaknyapun dinyatakan sebagai anak tidak sah.
Dalam kehidupan di masyarakat Indonesia, dikenal istilah perkawinan siri atau perkawinan yang hanya mendasarkan pada hukum Islam saja, tanpa mengindahkan peraturan hukum nasional Indonesia. Perkawinan siri tersebut dianggap tidak sah menurut Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Hal demikian tentunya menimbulkan permasalahan-permasalahan mengenai kedudukan hukum anak yang dihasilkan dari perkawinan siri.
Mendasarkan pada ketentuan Pasal 280 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin timbulah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya”, maka dapat dikatakan bahwa antara anak luar kawin dengan ayah dan ibunya pada asasnya tidak ada hubungan hukum, dan hubungan hukum tersebut baru ada kalau ayah dan atau ibunya memberikan pengakuan.
Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa kedudukan anak hasil perkawinan siri dalam keluarga adalah tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayah dan ibunya
Dengan dilakukannya Itsbat nikah atau penetapan nikah, maka suatu perkawinan yang semula dianggap tidak sah menjadi sah menurut Undang-Undang. Penetapan tersebut juga berimbas pada kedudukan anak yang semula tidak sah menjadi sah, yang pada akhirnya membawa konsekuensi persamaan kedudukan dalam hal pembagian harta warisan
Disebutkan di atas, bahwa anak hasil perkawinan siri tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah dan ibunya termasuk hak waris atas harta peninggalan ayah dan ibunya. Untuk memecahkan masalah tersebut, usaha yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan itsbat nikah atau penetapan nikah

Toko Buku Online BukuKita.COM - Komunitas Buku Indonesia

Toko Buku Online BukuKita.COM - Komunitas Buku Indonesia

Shared via AddThis

Tuesday, July 28, 2009

DINAMIKA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

A. Latar Belakang.
Penyelenggara negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat para penyelenggara negara dan pemimpin pemerintahan.
Dalam waktu lebih dari 30 tahun, penyelenggara negara tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, sehingga penyelenggaraan negara tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi karena adanya pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab pada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Di samping itu, masyarakatpun belum sepenuhnya berperan serta dalam menjalankan fungsi kontrol sosial yang efektif terhadap penyelenggaraan negara.


Pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab tersebut tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga di bidang ekonomi dan moneter, antara lain terjadinya praktek penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan memberi peluang terhadap tumbuhnya korupsi, kolusi dan nepotisme.
Tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme tersebut tidak hanya dilakukan penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, melainkan juga penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni, dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara.
Dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sesuai tuntutan reformasi diperlukan kesamaan visi, persepsi, dan misi dari seluruh penyelenggara negara dan masyarakat. Kesamaan visi, persepsi, dan misi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya penyelenggara negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh rasa tanggung jawab, yang dilaksanakan secara efektif, efisisen, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 memuat tentang ketentuan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme yang khusus ditujukan kepada para penyelenggara negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sasaran pokok Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 adalah para penyelenggara negara yang meliputi Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim, Pejabat negara dan/atau pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelengaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
Untuk menindak lanjuti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 maka Pemerintah Republik Indonesia juga telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya lebih dikenal dengan UU PTPK.
Hadirnya Undang-Undang tersebut di atas, ternyata dalam perkembangannya dianggap belum mampu untuk memberantas dan menanggulangi tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang terjadi bahkan semakin merajalela. Masyarakat sudah semakin tidak percaya terhadap upaya-upaya pemerintah dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya korupsi.
Guna mengoptimalkan pemberantasan dan penanggulangan korupsi yang semakin merajalela, pemerintah telah membentuk sebuah lembaga khusus yang bertugas menanggulang dan mencegah terjadi korupsi. Lembaga tersebut disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pembentukan KPK dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun, pembentukan KPK tersebut banyak ditanggapi oleh masyarakat sebagai langkah sia-sia dan bahkan menumbuhkan atau membuat jaringan baru terjadinya tindak pidana korupsi. Perdebatan mengenai perlu tidaknya pembentukan KPK terus muncul ke permukaan hingga saat ini.
Hal tersebut sangatlah dimaklumi, mengingat beberapa lembaga pemberantasan korupsi yang sebelumnya dibuat atau didirikan oleh pemerintah ternyata kurang efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, bahkan memunculkan jaringan tindak pidana baru.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dirumuskan suatu permasalahan yang akan dibahas yaitu:
1. Bagaimanakah pemberantasan korupsi yang terjadi di Indonesia pada saat ini?
2. Bagaimanakah peran KPK dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia?

C. Pembahasan
1. Pemberantasan Korupsi Yang Terjadi Di Indonesia Pada Saat Ini
Sebelum dibahas lebih lanjut, ada baiknya di ketahui dahulu mengenai pengertian korupsi. Pengertian korupsi menurut Selo Soemardjan adalah tindakan seseorang secara tidak halal yang meletakkan kepentingan pribadinya diatas kepentingan rakyat serta cita-cita yang menurut sumpah akan dilayaninya.
Sedangkan Andi Hamzah berpendapat korupsi adalah perbuatan yang buruk yang merugikan rakyat dan negara seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi identik dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Istilah penegakan hukum terdiri dari kata penegakan dan hukum. Penegakan berasal dari kata penegak yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah yang mendirikan / menegakkan. Penegak hukum adalah yang menegakkan hukum.
Pemberantasan tindak pidana korupsi tidak akan dapat dilakukan dengan baik tanpa adanya kebijakan formulasi, kebijakan yudikasi, dan kebijakan eksekusi.
Kebijakan formulasi terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia telah dilakukan melalui penerbitan UUPTPK dan peraturan-peraturan pelaksananya, kebijakan yudikasi atau dibidang penagakan juga telah dilakukan dengan cara pembentukan lembaga-lembaga pemberantasan korupsi, kebijakan eksekusi juga telah dilaksanakan dengan memberikan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi. Namun ternyata pemberantsan korupsi di Indonesia masih belum dapat berjalan dengan optimal.
Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkara korupsi di daerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kasus korupsi yang dapat diungkap oleh aparat-aparat penegak hukum di daerah. Keberhasilan ini tidak lepas dari peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga independen yang konsen terhadap upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Namun, pengungkapan kasus korupsi ini seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Ketidakseriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu: (i) besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan (ii) relatif lemahnya moral dan integritas aparat penegak hukum.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Petter Langseth mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya ada empat strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi intensitas korupsi, yaitu:
a. Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi yang bernuansa primordial di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral yang tinggi;
b. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before the law;
c. Para penentu kebijakan, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas moral yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi; dan
d. Memperjelas serta memperkuat mekanisme perlindungan saksi.
Selain keempat strategi yang dikemukakan oleh Langseth di atas, Dye dan Stapenhurst menambahkan bahwa perlu pula dilakukan upaya-upaya untuk memperkuat “Pillars of Integrity” yang melibatkan delapan pillars of integrity sebagai berikut: (1) lembaga eksekutif, (2) lembaga parlemen, (3) lembaga kehakiman, (4) lembaga-lembaga pengawas (watchdog agencies), (5) media, (6) sektor swasta,16 (7) masyarakat sipil, dan (8) lembaga-lembaga penegakan hukum.
Sementara itu, dalam perspektif yang agak berbeda, untuk meminimalisasi korupsi yang telah menjadi satu permasalahan sistemik dan terstruktural yang sangat utuh terakar, kuat serta permanen sifatnya diperlukan usaha yang maksimal bagi penegakan hukum, yaitu melalui pendekatan sistem itu sendiri (systemic approach).
Pendekatan sistemik memiliki tiga lapis makna, yaitu: (1) maksimalisasi peran sistem ”Peradilan Pidana” secara luas, (2) koordinasi dan kepaduan antara aparat-aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Pengadilan, bahkan termasuk advokat), dan (3) pembenahan hukum yang meliputi struktur / legal structure, substansi / legal substance dan budaya hukum / legal culture.
Pada lapis makna yang pertama (maksimalisasi peran sistem peradilan pidana secara luas), pemberantasan korupsi tidak semata-mata dilakukan dengan memaksimalkan peran lembaga pengadilan sebagai suatu sub sistem. Ini terkait erat dengan lapis makna yang kedua (koordinasi dan kepaduan antar aparat penegak hukum yang meliputi Polisi, Jaksa dan Pengadilan serta advokat). Kait-mengkait antara sub-sub sistem tersebut bersifat saling pengaruh-mempengaruhi layaknya roda lokomotif yang berirama dan sistematis. Konkritnya, dibutuhkan kesamaan visi, koordinasi dan kerjasama yang baik di antara sub-sub sistem tesebut untuk dapat menghasilkan suatu upaya pemberantasan korupsi yang berhasil guna dan berdaya guna.
Selanjutnya, perlu pula diperhatikan lapis ketiga dari makna pendekatan sistemik, yaitu pembenahan hukum yang meliputi struktur / legal structure, substansi / legal substance dan budaya hukum / legal culture. Pembenahan struktur hukum meliputi perbaikan segala kelembagaan atau organ-organ yang menyelenggarakan peradilan, sehingga dapat meminimalisasi KKN. Dalam hal ini, birokrasi dan struktur peradilan serta pengawasan fungsi peradilan merupakan bagian-bagian yang selayaknya mendapatkan pembenahan. Selanjutnya, pembenahan substansi hukum adalah menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat peraturan dan ketentuan normatif (legal reform), pola serta kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam sistem hukum tersebut. Dalam kerangka pembenahan substansi hukum ini, UUPTPK masih memerlukan beberapa revisi sesuai dengan sifat dinamis dari tindak pidana korupsi tersebut. Revisi terhadap undang-undang tersebut antara lain berupa implementasi terhadap akseptabilitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau Reversal Burden of Proof (Omkering van Bewijslast) yang dinilai penting dan mendesak mengingat korupsi telah menjadi suatu kejahatan serius yang harus ditindaklanjuti dengan upaya sarana pemberantasan yang bersifat extra ordinary pula, antara lain melalui Sistem Pembalikan Beban Pembuktian.
Terakhir, pembenahan budaya hukum merupakan aspek signifikan yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan-ketentuan sebagai civic minded (berpihak pada kepentingan masyarakat) sehingga masyarakat akan selalu taat dan sadar akan pentingnya hukum sebagai suatu regulasi umum. Hal ini terkait erat dengan persoalan etika dan moral masyarakat serta pejabat penegak hukum dalam menyikapi KKN. Masalah rendahnya moral dan budaya hukum inilah yang sangat penting dalam pembangunan hukum Indonesia, khususnya dalam kerangka pemberantasan korupsi. Terhadap hal ini, kiranya pemerintah dapat mengkampanyekan pemberantasan korupsi dengan cara memasukkan ajaran-ajaran tentang moral dan etika ke dalam sistem pendidikan nasional serta mendorong dan memobilisai murid-murid di sekolah-sekolah untuk menciptakan suatu iklim sosial sedemikian rupa dimana di dalamnya korupsi menjadi suatu hal buruk yang tidak dapat diterima. Dalam hal ini sekolah dijadikan sebagai ujung tombak yang diharapkan dapat menjangkau sejumlah besar anak. Melalui anak-anak ini lah kampanye anti korupsi diharapkan menyentuh para orang tua mereka dan akhirnya menyentuh masyarakat secara keseluruhan. Pemanfaatan media untuk memobilisasi masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi juga dapat menjadi bagian dari usaha ini.

2. Peran KPK dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia
Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) benar-benar dirasakan dampaknya ketika berhasil memenjarakan mantan-mantan pejabat yang dulunya tidak tersentuh oleh hukum.
Pemberantasan Korupsi di Indonesia memiliki sejarah cukup panjang, sejak dibentuknya Lembaga Pemberantasan Korupsi di Era Soekarno (PARAN - Panitia Retooling Aparatur Negara) di awal tahun 1960-an hingga kini dengan kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi. Banyak cerita kegagalan disamping keberhasilannya. PARAN di tahap awal memiliki tugas mencatat kekayaan pejabat, akan tetapi kandas ditengah jalan akibat perilaku birokrat yang sembunyi dibalik presiden. Tahun 1963 PARAN diaktifkan kembali dengan “Operasi Budhi” yang dipimpin AH Nasution dan Wirjono Prodjodikusumo misalnya berhasil menyelamatkan uang negara sebesar 11 milyar rupiah. Sebuah jumlah yang tidak kecil di waktu itu.
Kendala yang dialami lembaga-lembaga pemberantasan korupsi disamping lemahnya komitmen politik Presiden, kapasitas lembaga, penghindaran proses hukum, mafia peradilan dan intervensi Partai Politik maupun kekuatan lain sebenarnya telah ada sejak gerakan pemberantasan korupsi dicanangkan dari awal.
PARAN Gagal karena banyak yang sembunyi di balik kekuasaan Presiden, sementara Operasi Budhi berhenti karena dihapus Presiden Soekarno sendiri karena dianggap mengganggu kewibawaan presiden. Sedangkan di Era Soeharto Kegagalan OPSTIB karena adanya campur tangan militer, sementara banyak kalangan militer yang duduk di kursi-kursi empuk. BUMN menggerogoti melalui berbagai jurus korunya. Korupsi di PERTAMINA yang gagal diluruskan sejak Operasi Budhi dengan alasan pergi ke luar negeri, Soeharto pun tidak mampu kendalikan Dr. Ibnu Sutowo.
Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.
Di era Gus Dur lebih parah lagi, Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo. Sayangnya di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan.
Baru di era Megawati lahirlah Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) atau lebih sering disebut Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang saat ini sedang giat-giatnya melakukan pemberantasan korupsi.
Ditengah hiruk pikuk keberhasilannya, KPK tidak sepi kritik mengingat banyaknya kasus megakorupsi di depan mata. Misalnya saja kasus BLBI, Kasus Hotel Hilton, yang membuat rekor kasus korupsi pada angka-angka trilyunan rupiah, melebihi batas ambang 1 milyar rupiah yang dianggap mulai memasuki wewenang KPK. Kegundahan para pengritik makin menjadi-jadi ketika Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan ECW Neloe CS dari dakwaan telah melakukan tindak pidana korupsi dalam penyaluran kredit Bank Mandiri kepada PT Cipta Graha Nusantara (CGN). Kegundahan pengritik sepertinya diredam oleh penyataan Ketua KPK, yang menyatakan bahwa seharusnya perkara tipikor di tangani satu pintu, yakni di Pengadilan Adhoc Korupsi saja.
Pernyataan yang dikeluarkan Ketua KPK sudah sepantasnya, karena dalam format pemberantasan korupsi KPK juga dilengkapi dengan sistem peradilan adhoc tipikor, baik di tingkat Pertama, Banding hingga pada tingkat Kasasi.
Selian itu KPK juga dilengkapi berbagai tugas dan wewenang yang sangat luas dan kuat. Hal ini barangkali bisa menjadi cerminan, entah karena sudah sangat frustasi menghadapi berbagai jurus pat-gulipat koruptor, atau karena hendak menunjukkan besarnya komitmen politiknya maka pada tahun 2002 Pemerintah dan DPR memberi tugas dan wewenang KPK luas sekali, seperti termaktub pada pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9 dan pasal 10 UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau lebih dikenal KPK. Tugas dan Wewenang penting yang dimaksud adalah melakukan koordinasi, supervisi dengan lembaga penyidik lainya.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa selama ini pemberantasan korupsi memang dirasakan kurang efektif dan memiliki dampak yang cukup signifikan. Oleh karena itu kehadiran KPK amat dibutuhkan.

D. K e s i m p u l a n
Dari pembahasan terdahulu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Penanganan terhadap tindak pidana korupsi pada saat ini dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kasus korupsi yang dapat diungkap oleh aparat-aparat penegak hukum di daerah. Keberhasilan ini tidak lepas dari peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga independen yang konsen terhadap upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Namun, pengungkapan kasus korupsi ini seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
2. Peran KPK dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia sangat efektif. Hal tersebut ditandai dari keberhasilan KPK dalam mengungkap berbagai kasus korupsi yang dulunya tidak tersentuh oleh hukum.

ANALISIS SINGKAT TERHADAP PEMBIAYAAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DITINJAU DARI HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DI INDONESIA

Salah isu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang cukup mengemuka adalah isu hubungan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Menurut Muhammad Fauzan (2006: 1), kenyataan tersebut terkonfirmasi ketika hingga saat ini masalah hubungan antara Pusat dan Daerah yang berlangsung selama ini masih mencari bentuk, dan oleh karena itu, berbagai upaya untuk menemukan format yang ideal dan tepat terus dikaji. Sehubungan dengan bentuk organisasi negara yang bersifat negara kesatuan, maka masalah hubungan Pusat dan Daerah dapat dilihat dalam 2 (dua) sudut pandang (Bagir Manan, 1994: 19). Cara pertama disebut sentralisasi, yang mana segala urusan, fungsi, tugas, dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan ada pada Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi. Cara kedua dikenal sebagai desentralisasi, di mana urusan, tugas, dan wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan seluas-luasnya kepada Daerah.

Pembagian urusan, tugas, dan fungsi serta tanggung jawab antara Pusat dan Daerah menunjukkan bahwa tidak mungkin semua urusan pemerintahan diselenggarakan oleh Pusat saja (Muhammad Fauzan, 2006: 3). Hal ini merupakan wujud nyata pelaksanaan prinsip desentralisasi, suatu prinsip yang dapat disinonimkan dengan istilah “diet” dalam bahasa kesehatan, yaitu untuk mengurangi obesitas akut yang diderita oleh suatu negara. Menurut Ahmad Erani Yustika (2008: 3), obesitas tersebut terpantul dalam wujud jumlah penduduk yang besar, wilayah yang teramat luas, dan ragam multikultur masyarakat yang sangat variatif.
Dengan desentralisasi diharapkan kemampuan pemerintah daerah untuk manajemen pembangunan menjadi lebih lincah, akurat, dan tepat. Pengakuan tersebut memberikan peluang kepada Daerah untuk berusaha mengatur dan mengurus serta menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Dengan demikian, pengaturan mengenai hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam hal ini adalah hubungan dalam bidang keuangan merupakan permasalahan yang memerlukan pengaturan yang baik, komprehensif, dan responsif terhadap tuntutan kemandirian dan perkembangan daerah. Menurut Farida Rahmawati (2008: 29), tuntutan yang demikian didasari kepada konsep bahwa setiap kewenangan yang diberikan kepada Daerah harus disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan besarnya beban kewenangan tersebut. Konsep inilah yang dikenal dengan money follow function, bukan lagi konsep function follow money. Artinya, pertama-tama beberapa tugas dan kewenangan yang dipandang efisien ditangani oleh Daerah. Kewajiban pemerintah pusat adalah menjamin sumber keuangan untuk pendelegasian kewenangan tersebut. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab Daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.
Seiring dengan proses pembaruan terhadap isu otonomi daerah dan desentralisasi, dewasa ini telah diberlakukan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimabngan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Ketentuan dalam UU No. 33 Tahun 2004 telah memberikan kerangka bagi terlaksananya desentralisasi fiskal. Menurut Farida Rahmawati (2008: 35), implementasi desentralisasi fiskal memberikan kewenangan kepada kabupaten/kota untuk menggali dan mengelola sumber keuangannya sendiri, sehingga berdampak pada munculnya berbagai kebijakan yang mengarah kepada upaya peningkatan penerimaan daerah. Atas dasar adanya desentralisasi fiskal inilah maka dipandang perlu untuk melakukan analisis terhadap pembiayaan pelaksanaan desentralisasi sebagai bentuk hubungan keuangan Pusat dan Daerah.
B. Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
Menurut Bagir Manan (2001: 35), untuk mengetahui hubungan antara Pusat dan Daerah, maka salah satu dimensi yang menjadi pokok pembicaraan adalah hubungan keuangan.
Istilah formal mengenai keuangan negara dijumpai dalam naskah asli UUD 1945 (sebelum Perubahan). Di dalam Pasal 23 ayat (4) ditentukan bahwa hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang. Sementara itu, ketentuan Pasal 23 ayat (5) menyebutkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah Perubahan UUD 1945 istilah “hubungan keuangan” dijumpai dalam Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa hubungan keuangan...antara pemerintah Pusat dan pemerintahan Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah tidak mempergunakan istilah “hubungan keuangan” sebagai nama undang-undang tersebut, melainkan menggunakan istilah “perimbangan keuangan”. Hal tersebut dapat dilihat dalam: (i) UU No. 32 Tahun 1956; (ii) UU No. 25 Tahun 1999; dan (iii) UU No. 33 Tahun 2004.
Dalam UU No. 32 Tahun 1956 bahkan istilah perimbangan keuangan sebagai nama undang-undang yang bersangkutan, diikuti dengan frasa “antara negara dengan daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.”Kata “negara” dipergunakan untuk menunjuk Pemerintah Pusat, sedangkan kata “daerag-daerah” dimaksudkan untuk menunjuk daerah otonom. Sementara itu, UU No. 25 Tahun 1999 dan UU No. 33 Tahun 2004 mempergunakan istilah yang sama sebagai nama undang-undang tersebut, yaitu perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Istilah “hubungan keuangan” juga dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (6) UU No. 33 Tahun 2004, yang menyatakan Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Istilah itu juga dapat dijumpai dalam Pasal 15 UU No. 33 Tahun 2004, hanya saja baik dalam UUD 1945 maupun UU No. 32 Tahun 1956, UU No. 25 Tahun 1999, dan UU No. 33 Tahun 2004 sama sekali tidak diketemukan batasan mengenai istilah “hubungan keuangan.”
Sementara itu, untuk memberikan pijakan pemahaman mengenai hubungan keuangan tersebut perlu sekali diketahui mengenai apa yang dimaksud dengan keuangan negara itu. Secara teoritis di sini akan dikemukakan pemahaman mengenai keuangan negara seperti paparan Subagio dan M. Ichwan.
Menurut Subagio (1987: 11), keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara, berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sementara itu, M. Ichwan, sebagaimana dikutip oleh W. Riawan Tjandra (2006: 1), mengatakan bahwa keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun mendatang. Jika dicermati, pendapat Subagio mencerminkan pemahaman keuangan negara dalam perspektif yang luas. Hal ini karena ia menyebut bahwa keuangan negara meliputi: (i) hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang; (ii) uang milik negara; dan (iii) barang milik negara. Hemat penulis, pemahaman itu memandang keuangan negara dari segi obyeknya. Sementara itu, M. Ichwan menunjuk keuangan negara dari sudut pandang proses, meskipun juga terkesan sederhana, karena hanya menyangkut pengelolaan keuangan negara. Bahkan, hemat penulis, pendapat M. Ichwan itu tidak mendefinisikan keuangan negara, tetapi lebih tepat dipandang sebagai pengertian anggaran negara.
Dewasa ini telah berhasil diundangkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut diatur bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Defisini menurut undang-undang mengenai keuangan negara ini sangat luas, karena diperoleh dengan menggunakan pendekatan dari sisi obyek, proses, dan tujuan. Menurut W. Riawan Tjandra (2006: 4), definisi yang demikian luas itu bertujuan untuk mencapai 3 (tiga) hal. Pertama, terdapat perumusan definisi keuangan negara secara cermat dan teliti untuk mencegah terjadinya multiintepretasi dalam segi pelaksanaan anggaran. Kedua, agar tidak terjadi kerugian negara sebagai akibat kelemahan dalam perumusan undang-undang. Ketiga, memperjelas proses penegakan hukum apabila terjadi maladministrasi dalam pengelolaan keuangan negara.
Selanjutnya, Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2003 mengatur bahwa Presiden selaku kepala pemerintahan memenang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagi dari kekuasaan pemerintahan. Selanjutnya, kekuasaan Presiden itu dalam rangka desentralisasi diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Di snilah titik awal terjadinya hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah (Ateng Syafrudin, 2001).
Menurut Ahmad Yani (2002: 98), hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah sering juga disebut sebagai perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam pandangan Bagir Manan (2001: 40), esensi dari perimbangan keuangan tersebut adalah memperbesar pendapat asli daerah sehingga lumbung keuangan daerah dapat berisi lebih banyak. Tetapi Kennet Davey, sebagaimana dikutip oleh Syarif Hidayat (2000: 119), mengatakan bahwa inti dari hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah adalah pengaturan masalah distribusi, yaitu konsekuensi dari distribusi kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk mengimplementasikan wewenang yang telah didesentralisasikan.
Dengan mencermati pemahaman di atas, dapat dikatakan bahwa salah satu komponen utama desentralisasi adalah desentralisasi fiskal. Artinya, berbicara desentralisasi tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan daerah, di mana kemandirian daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan diukur dari kemampuan menggali dan mengelola keuangannya (Farida Rahmawati, 2008: 28). Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah memerlukan pembiayaan.
Menurut UU No. 33 Tahun 2004, pembiayaan penyelenggarakan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pembiayaan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara itu, pembiayaan berdasarkan asas dekonsentrasi dilakukan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan pembiayaan dalam tugas pembantuan dibiaya atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan.
C. Analisis Pembiayaan Pelaksanaan Desentralisasi
Dalam rangka implementasi asas desentralisasi, maka pengertian otonomi sebagai hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan serta aspirasi Daerah harus diletakkan juga dalam kerangka pembiayaan atas penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah. Menurut Bird dan Vaillancourt (2000: 135), membiayai diri sendiri menunjukkan bahwa Daerah harus mempunyai sumber-sumber pendapatan sendiri.
Menurut Muhammad Fauzan (2006: 231), salah satu konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah adalah berhubungan dengan upaya untuk menciptakan kemampuan membiaya diri sendiri. Kemampuan ini harus memperhatikan kemampuan sumber daya Daerah-daerah lainnya yang tidak merata sehingga sistem pembiayaan Daerah pun harus dapat dilaksanakan secara adil, artinya terhadap Daerah yang kurang mampu perlu diperhatikan dengan perimbangan yang proporsional rasional yang disusun dan ditentukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi warga masyarakat. Berdasarkan pemahaman demikian, maka analisis mengenai pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terkait erat dengan sumber-sumber, peruntukkan, dan pendistribusian penerimaan daerah.
Dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004 ditentukan bahwa sumber penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Pendapatan Daerah meliputi: (i) Pendapatan Asli Daerah; (ii) Dana Perimbangan; dan (iii) Lain-lain Pendapatan. Sementara itu, Pembiayaan meliputi: (i) sisa lebih perhitungan anggaran daerah; (ii) penerimaan Pinjaman Daerah; (iii) Dana Cadangan Daerah; dan (iv) hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Analisis ini difokuskan kepada Pendapatan Daerah dan selanjutnya dibatasi hanya menyangkut Pendapatan Asli Daerah saja. Pertimbangan fokus analisis ini adalah bahwa besarnya penerimaan daerah dari kedua sumber pendapatan tersebut dipengaruhi oleh sistem perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang dianut.
1. Pendapatan Asli Daerah
Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Hal ini jelas terlihat dari rendahnya proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah dibanding besarnya subsidi (grant) yang diberikan oleh Pusat. Menurut Suwarno (2008: 51), indikator desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan total penerimaan Daerah. Dalam hal ini, kemampuan Daerah untuk mengembangkan kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan dan keuangan guna pembiayaan aktivitas pemerintahan dan pembangunan merupakan salah satu pilar pelaksanaan otonomi daerah (Mulyanto, 2002: 5).
Menurut Suhadak dan Tri Laksono Nugroho (2007: 163), dalam kaitan dengan peningkatan PAD, kebijaksanaan yang perlu ditempuh adalah dalam bentuk intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan sehingga diharapkan PAD akan lebih berperan. Kebijaksanaan dan usaha intensifisikasi berupa peningkatan PAD dari sumber-sumber yang ada atau berjalan selama ini. Sementara itu, kebijaksanaan dan usaha ekstensifikasi dalam pemungutan ini berupa mencari dan menggali sumber-sumber pendapatan daerah yang baru dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada sisi yang lain, upaya-upaya intensifikasi dan ekstensfikasi sumber-sumber sangat tergantung kepada kreativitas aparatur Daerah dalam mengkoordinasikan berbagai lembaga penghasil sumber dana PAD dan kreativitas aparatur tentunya sangat ditentukan oleh kualitas aparatur.
Diuraikan lebih lanjut oleh Suhadak dan Tri Laksono Nugroho (2007: 163-164), bahwa PAD seyogyanya lebih dititikberatkan pada ekstensifikasi dan intensifikasi sumber-sumber retribusi. Sementara itu, pajak daerah cukup ditetapkan sumber limitatif pada obyek-obyek yang cukup potensial bagi pajak yang kurang potensial seyognyanya dihapuskan. Uraian selanjutnya terbatas kepada masalah pajak daerah belaka.

2. Pajak Daerah
Menurut Andriani, sebagaimana dikutip oleh Santoso Brotodiharjo (1986: 2), pajak merupakan iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terhutang oleh wajib pajak menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Menurut N.J. Feldman, sebagaimana dikutip oleh Early Suandy, pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum) tanpa ada kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Early Suandy, 2002: 9). Sementara itu, menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengertian Pajak Daerah mencakup iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksankaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah Daerah dan pemabangunan Daerah. Dalam hal ini, secara umum dapat dipahami bahwa pajak memuat unsur-unsur sebagai berikut: (i) pungutan yang dilakukan oleh negara; (ii) berdasarkan undang-undang; (iii) pelaksanaannya dapat dipaksakan kepada wajib pajak; dan (iv) tidak ada jasa balik secara langsung.
Dalam konteks hubungan Pusat dan Daerah, Mustaqiem (2008: 169-170) menunjuk adanya 2 (dua) pola pengaturan bidang perpajakan daerah, yaitu sistem residu dan sistem material. Dalam sistem residu, Pemerintah Pusat dapat menetapkan macam-macam pajak Pusat dan di luar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat merupakan Pajak Daerah. Pemerintah Daerah dengan sistem ini akan leluasa dalam menetapkan dan mengatur bermcam-macam pajak daerah. Apabila timbul persoalan-persoalan baru, Pemerintah Daerah akan cepat mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan tidak perlu menunggu keputusan dari pemerintah pusat.
Di dalam sistem material, jumlah dan jenis-jenis pajak daerah ditetapkan secara riil oleh pemerintah Pusat, di luar yng telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai pajak daerah. Pola ini menyebabkan terpasungnya Daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang berasal dari sektor pajak daerah karena Daerah tidak dapat leluasa menambah sendiri macam-macam pajaknya.
Kedua pola tersebut menunjukkan bahwa kewenngan memungut pajak dapat dilaksanakan oleh Pusat maupun Daerah. Jika kewenangan berada pada Pusat, maka bidang tersebut merupakan perpajakan Pusat, dan sebaliknya, jika kewenangannya berada pada Daerah, maka bidang tersebut merupakan perpajakan Daerah.
Agar dapat berperan sebagai sumber PAD yang efisien, maka perlu ditempuh kebijaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah. Intensifikasi pajak daerah diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh pemerintah kota/kabupaten untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah yang biasa diaplikasikan ke dalam 2 hal yaitu perubahan tarif pajak daerah dan peningkatan pengelolaan pajak daerah (Abdul Halim, 2001: 69).
Kebijaksanaan perubahan tarif pajak daerah merupakan hal yang sangat mudah dilakukan oleh Daerah dan secara nyata dapat meningkatkan penerimaan pajak. Hanya saja efek negatif yang muncul adalah dapat menggangu perekonomian daerah khususnya dalam kegiatan produksi dan kegiatan perdagangan barang dan jasa. Bahkan, kebijaksanaan semacam ini dapat juga menimbulkan terjadinya pelarian modal oleh para investor (crowding out) dari Daerah yang bersangkutan ke Daerah yang lain. Sementara itu, peningkatan pengelolaan pajak daerah harus dilakukan secara profesional melalui mekanisme dan prosedur yang baik dan transparan, guna menghindari terjadinya pemborosan biaya pemungutan dan kebocoran penerimaan pajak daerah.
Pada sisi lain, ektensifikasi pajak daerah merupakan suatu kebijakan yang dilakukan oleh Daerah dalam upaya meningkatkan penciptaan sumber-sumber pajak daerah. Hal ini sesuai dengan UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 di mana dalam usaha meningkatkan konstribusi pajak daerah terhadap total penerimaan Daerah merupakan salah satu kebijakan yang sangat rasional. Pelaksanaan kebijaksanaan ini sangat terbuka lebar, karena Daerah diberi kesempatan untuk menggali potensi sumber-sumber keuangan yang ada di wilayahnya dengan menetapkan jenis pajak selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang sepanjang memenuhi kriteria atau indikator yang telah digariskan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000, pajak daerah terdiri atas Pajak Daerah Propinsi dan Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 2 ayat (1), ditentukan bahwa Pajak Propinsi meliputi: (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Kendaraan atas Air; (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; dan (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Sementara itu, Pasal 2 ayat (2) menentukan bahwa Pajak Daerah Kabupaten/Kota meliputi: (i) Pajak Hotel; (ii) Pajak Restoran; (iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak Penerangan Jalan; (vi) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; dan (vii) Pajak Parkir.

D. Penutup
Keseluruhan uraian di atas menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
1. Desentralisasi memberikan peluang kepada Daerah untuk berusaha mengatur dan mengurus serta menyelenggarakan pemerintahan sendiri, yang kemudian menimbulkan tuntutan perumusan, pengaturan, dan pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
2. Salah satu aspek dalam pembahasan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah pembiayaan pelaksanaan desentralisasi yang mencakup bidang penerimaan daerah dan pembiayaan. Adapun bidang penerimaan daerah mencakup PAD, yang mana sumber terbesar untuk pemenuhannya ditetapkan dari pajak daerah dan retribusi daerah; dan
3. Untuk menunjang desentralisasi fiskal, khususnya PAD, maka diperlukan kebijaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku agar bermanfaat bagi pembiayaan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.

Monday, July 27, 2009

PENEGAKAN DISIPILIN DAN KODE ETIK KEPOLISIAN DALAM RANGKA MEWUJUDKAN POLISI YANG PROFESIONAL

Polri sebagai bagian dari penegak hukum di Indonesia, mempunyai tugas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Tujuan tersebut di atas tentunya tidak akan terwujud apabila tidak dilakukan dengan dedikasi tinggi, disiplin serta profesionalisme dari para anggota Polri itu sendiri untuk berusaha melakukan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik dan bertanggung jawab. Bertolak dari arti pentingnya kedisiplinan bagi anggota Polri sebagai penegak hukum, pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 bahwa Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus memiliki kemampuan profesi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pengertian profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu.


Sejalan dengan pengertian profesi di atas, Habeyb dalam Supriadi menyatakan bahwa profesi adalah pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencaharian. Sementara itu menurut Komaruddin profesi ialah suatu jenis pekerjaan yang karena sifatnya menuntut pengetahuan yang tinggi, khusus dan latihan yang istimewa.
Menurut Liliana Tedjosaputro, agar suatu lapangan kerja dapat dikategorikan sebagai profesi diperlukan:
1. Pengetahuan;
2. Penerapan keadilan (competence of application);
3. Tanggung jawab sosial (sosial responsibility);
4. Self control;
5. Pengakuan oleh masyarakat (social sanction).
Mendasarkan pada syarat profesi tersebut di atas, terlihat bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memenuhinya sehingga dapat dikatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan profesi. Selanjutnya, guna menjamin kemampuan profesi kepolisian dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, disebutkan dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, bahwa pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan, dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut.
Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yaitu bahwa:
(1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya.
(3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri.

Sebagai tindak lanjut atas ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tersebut di atas, telah diterbitkan Peraturan Kapolri No. Pol. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang isinya memberikan pedoman bagi anggota Polri dalam bertindak dan menjalankan tugasnya. Namun demikian, segala pengaturan tentang kedisiplinan dan etika tersebut di atas tentunya tidak akan dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya upaya penegakannya.
Upaya penegakan disiplin dan Kode Etik Kepolisian sangat dibutuhkan guna terwujudnya pelaksanaan tugas yang dibebankan dan tercapainya profesionalisme Polri. Sangat tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan baik, apabila penegak hukumnya sendiri (Polri) tidak disiplin dan tidak profesional. Ketidakdisiplinan dan ketidakprofesionalan Polri akan sangat berdampak dalam hal penegakan hukum atau pengungkapan kejahatan yang terjadi di masyarakat.
Kondisi melemahnya disiplin dan profesionalisme anggota Polri yang terjadi pada saat ini mulai sering menjadi pembicaraan masyarakat luas. Dengan sering diberitakannya di berbagai media massa mengenai tindakan indisipliner yang dilakukan oleh anggota Polri, misalnya banyaknya kasus penyalahgunaan senjata api oleh anggota Polri, adanya anggota Polri yang terlibat dalam tindak pidana, tindakan sewenang-wenang anggota Polri, dan masih banyak kasus lain yang menggambarkan kurang disiplinnya anggota Polri, menjadikan keprihatinan sendiri bagi masyarakat terkait dalam pelaksanaan tugas pokok Polri yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dari pengamatan sementara terhadap penegakan disipilin, kode etik dan penegakan hukum terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana yang terjadi selama ini terdapat kerancuan atau ketumpangtindihan penggunaan dasar hukumnya, yakni antara penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Kapolri No. Pol. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Misalnya saja terdapat salah seorang anggota Polri yang melakukan tindak pidana penganiayaan, dalam hal ini jelas anggota Polri tersebut melakukan perbuatan tindak pidana, namun dalam praktiknya terhadap anggota Polri tersebut hanya dikenai tindakan disiplin, dan masih banyak lagi contoh lain.

Sunday, July 26, 2009

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETANI TEBU DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL DENGAN PABRIK GULA

Negara Indonesia disaat sekarang ini sedang menjalankan pembangunan di segala bidang yang terangkum dalam agenda pembangunan nasional. Dalam pembangunan nasional ini, masalah pertanian dan perkebunan mendapat perhatian yang lebih serius karena pertanian dan perkebunan merupakan salah satu identitas dan ciri khas bangsa Indonesia sebagai negara agraris. Wujud atau bentuk perhatian pemerintah di bidang perkebunan tersebut antara lain telah dilakukan oleh pemerintah melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
Disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 bahwa yang dimaksud dengan perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
Adapun yang dimaksud dengan tanaman tertentu tersebut di atas, menurut ketentuan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 adalah tanaman semusim dan/atau tanaman tahunan yang karena jenis dan tujuan pengelolaannya ditetapkan sebagai tanaman perkebunan. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004, bahwa perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan.


Salah satu jenis tanaman perkebunan yang banyak diselenggarakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya adalah perkebunan tebu sebagai bahan dasar produksi gula. Hasil tebu yang dikelola olah petani selanjutnya diserahkan kepada pabrik gula melalui perjanjian bagi hasil antara petani dengan pihak pabrik gula.
Adapun yang dimaksud dengan perjanjian bagi hasil menurut ketentuan Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak, yang dalam undang-undang ini disebut “penggarap” berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.
Dalam hal pembagian hasil didasarkan pada jumlah bobot atau berat tebu dan besarnya rendemen tebu. Hal tersebut berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 5/SK/Mentan/Bimas/IV/1990 yang juga mengatur bagian hasil masing-masing pihak, yaitu 65 % untuk petani penggarap dan 35 % untuk pabrik gula.
Permasalahan yang sering muncul dalam pelaksanaan bagi hasil gula antara petani dengan pihak pabrik pada umumnya bukan dari prosentase hasil yang telah ditentukan oleh Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 5/SK/Mentan/Bimas/IV/1990, melainkan masalah penentuan rendemen tebu.
Untuk diketahui bahwa pabrik gula dalam menentukan harga tebu tergantung dari rendemen (kadar gula) pada tebu itu sendiri. Dalam menentukan rendemen tersebut, pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh pihak pabrik gula yang bersangkutan tanpa melibatkan petani, serta tanpa batasan yang jelas. Artinya hasil pengukuran rendemen tebu antara pabrik gula yang satu dengan pabrik gula yang lainnya tidak selalu sama. Kondisi tersebut pada akhirnya menjadikan kedudukan petani dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil gula sangat lemah dan dirugikan.
Pada pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara petani dengan pabrik gula belum terdapat perlindungan hukum terhadap petani. Pabrik gula seolah-olah hanya mengejar keuntungan saja. Selain itu, pelaksanaan perjanjian bagi hasil juga tidak sesuai dengan asas-asas keseimbangan di dalam perjanjian.
Pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara petani dengan pabrik gula juga tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 22 yang menyatakan bahwa perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan.
Upaya petani tebu dalam memperoleh hasil rendemen yang objektif dilakukan dengan cara membentuk tim khusus yang beranggotakan para ahli untuk ikut terlibat langsung dalam proses penentuan rendemen tebu di pabrik gula dan di pihak APTRI wajib melakukan pendampingan yang memberikan penjelasan dan bimbingan kepada petani tebu mengenai cara pengelolaan tanaman tebu yang baik dan benar.
Solusi terhadap perlindungan hukum bagi petani tebu dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara petani tebu dengan pabrik gula dapat dilakukan dengan mengintensifkan pelaksanaan pengawasan pelaksanaan perjanjian bagi hasil.

RISIKO PERALIHAN JUAL BELI RUMAH SECARA KREDIT

Dengan laju pertambahan penduduk Indonesia yang sangat pesat, maka bertambah pula kebutuhan akan tempat tinggal atau rumah sebagai sarana pemukiman. Dewasa ini pembangunan perumahan di Indonesia sangat pesat perkembangannya. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin banyaknya pembangunan perumahan-perumahan rakyat, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun oleh pihak swasta, sehingga tidak mengherankan bila usaha di bidang real estate ini mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Banyaknya pembangunan perumahan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia dalam usahanya memiliki tempat hunian atau rumah. Namun pada kenyataannya masih banyak rakyat yang tidak mampu membeli rumah secara tunai atau kontan. Menyikapi hal demikian, banyak pengembang perumahan yang memberikan pelayanan dengan menjual rumah yang dibangunnya dengan angsuran atau dalam istilah populernya pembelian rumah secara kredit.


Berbagai macam fasilitas ditawarkan oleh para pengembang kepada calon pembeli, baik fasilitas fisik maupun proses kredit yang sangat mudah dan tidak berbelit-belit. Jual beli rumah antara pengembang dengan pembeli dimulai dengan penandatanganan perjanjian jual beli yang telah disepakati bersama.
Mengenai pengertian perjanjian antara lain dapat dilihat dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut ;
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.

Sedangkan jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Dari rumusan Pasal 1457 KUH Perdata tersebut dapat ditarik pengertian bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.
Mengenai jual beli dengan pembayaran angsuran/kredit sama sekali tidak ada diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berlaku untuk Indonesia. Namun demikian ternyata dalam praktek sehari-hari banyak dijumpai lalu lintas persetujuan yang berbentuk jual beli angsuran/kredit. Dengan demikian dalam jual beli secara kredit, pembeli wajib membayar harga barang secara berkala, sebaliknya penjual biasanya masih tetap berhak menarik barang yang dijual dari tangan pembeli apabila pembeli tidak tepat waktu (niet tijdig) membayar harga cicilan sesuai waktu yang ditentukan. Adanya hak penjual untuk menarik kembali barang yang telah dijual karena akibat keterlambatan membayar cicilan adalah merupakan syarat yang disebut klausul yang menggugurkan atau vervalclausule.
Menurut R. Subekti, jual beli secara angsuran atau sewa beli mula-mula ditimbulkan dalam praktek untuk menampung persoalan bagaimanakah caranya memberikan jalan keluar apabila pihak penjual menghadapi banyak permintaan atau hasrat untuk membeli barangnya tetapi calon-calon pembeli itu tidak mampu membayar harga barang-barang sekaligus. Penjual bersedia untuk menerima bahwa harga barang itu dicicil atau diangsur, tetapi ia memerlukan jaminan bahwa barangnya (sebelum harganya dibayar lunas) tidak akan dijual lagi oleh si pembeli. Sebagai jalan keluar lalu ditemukan suatu macam perjanjian dimana selama harga belum dibayar lunas, si pembeli menjadi penyewa dahulu dari barang yang ingin dibelinya. Harga sewa sebenarnya adalah angsuran atas harga barang.
Dalam kenyataan sehari-hari sering dijumpai seseorang yang membeli rumah secara kredit namun karena alasan tertentu mengalihkan atau mengoper kepada orang lain. Pengalihan jual beli tersebut tentunya menimbulkan risiko, baik bagi penjual maupun pembeli.
Menurut R. Subekti, risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) di luar kesalahan salah satu pihak.
Risiko yang timbul dalam peralihan jual beli rumah secara kredit antara lain adalah sebagai berikut:
-adanya gugatan dari pengembang, karena pengoperan atas barang yang dibeli dengan sistem sewa beli termasuk tindak pidana penggelapan;
-penentuan atas nama hak atas tanah, karena hak atas tanah tentunya akan mengatasnamakan debitor dalam jual beli rumah secara angsuran, bukan atas nama pihak ketiga.
Upaya yang dilakukan untuk menghindari risiko yang timbul dalam peralihan jual beli rumah secara kredit tersebut, pihak ketiga dalam melakukan atau menerima peralihan jual beli rumah secara kredit tersebut harus dilakukan dihadapan kreditor, sehingga akan dibuatkan perjanjian baru untuk selanjutnya kreditor mendaftarakan hak atas tanah dari rumah tersebut kepada PPAT atas dasar jual beli dari debitor sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 37 dan 38 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

DAMPAK DIHARAMKANNYA BUNGA UANG DALAM PERSPEKTIF PERBANKAN KONVENSIONAL DAN PERBANKAN SYARIAH

Alasan atau latar belakang MUI menerbitkan Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Intersat/Fa’idah) yang isinya mengharamkan bunga bank adalah karena Al-Qur’an sebagai sumber hukum tertinggi umat agama Islam melarang dan mengharamkan riba yang dipersamakan dengan bunga bank. Selain itu, banyaknya umat Islam Indonesia yang masih mempertanyakan status hukum bunga (interst/fa’idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan ataupun individu, menjadikan pertimbangan MUI untuk segera memberikan dasar hukum mengenai bunga bank melalui fatwanya

Sikap bank konvensional terhadap Fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank dapat dikatakan tidak begitu mempersoalkan karena pada dasarnya Fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank tidak terlalu mempengaruhi perkembangan bank konvensional. Hal tersebut dikarenakan selain karena masyarakat Indonesia tidak hanya golongan muslim saja, juga dikarenakan Fatwa MUI tersebut tidak bersifat mengikat.
Sikap Bank Syariah terhadap Fatwa MUI tentang Pengharaman Bunga Bank adalah sangat mendukung, karena terbitnya Fatwa MUI tersebut dengan sendirinya telah memberikan kenyamanan dan kejelasan akan dasar hukum berkaitan dengan transaksi perbankan, yang sekaligus juga mendukung pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia.
Terbitnya Fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank tidak berdampak terhadap nasabah perbankan. Nasabah perbankan di Kabupaten Kudus, baik nasabah perbankan konvensional maupun nasabah perbankan syariah tidak mempermasalahkan haram tidaknya bunga bank, karena mereka beranggapan bahwa haram tidaknya bunga bank tergantung dari niat dan tujuan penyimpanan dana masing-masing pribadi dan juga masyarakat beranggapan bahwa antara bunga dan bagi hasil tidak ada bedanya.

BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP HAK-HAK TERSANGKA/TERDAKWA

Bagi seseorang yang mampu mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu juga dapat meminta pembelaan dari seorang atau lebih pembela umum sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum. Tidak adil bilamana orang yang mampu saja yang dibela oleh advokat dalam menghadapi masalah hukum, sedangkan bagi yang tidak mampu tidak memperoleh pembelaan karena tidak sanggup membayar uang jasa (fee) seorang advokat.
Pemberian bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu tersebut dilakukan secara cuma-cuma sebagaimana tercantum dalam Pasal 56 KUHAP yang selengkapnya sebagai berikut:
(1)Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka;
(2)Setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
Adapun kewajiban untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma tersebut adalah merupakan kewajiban advokad sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokad yang menyatakan bahwa :
(1)Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
(2)Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pemberian bantuan secara cuma-cuma tersebut sangat menarik perhatian penulis, mengingat di jaman sekarang ini dapat dipastikan bahwa hampir tidak ada seseorang pun yang mau melakukan pekerjaan tanpa imbalan.

Pemberian bantuan hukum cuma-cuma dalam praktik lebih sering dilaksanakan pada tahap pemeriksaan di persidangan dibandingkan pada tahap penyidikan. Adapun mengenai sebabnya adalah bahwa bantuan hukum cuma-cuma dalam praktik lebih sering ditawarkan pada tingkat pemeriksaan di persidangan daripada di tingkat penyidikan. Hal ini dikarena pada tingkat penyidikan tawaran pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sering ditolak oleh tersangka sehingga untuk selanjutnya jarang ditawarkan oleh penyidik. Selain itu pemahaman petugas mengenai hak tersangka untuk menerima bantuan hukum secara cuma-cuma pada tingkat penyidikan masing kurang, berbeda dengan pemahaman petugas di tingkat pemeriksaan persidangan yang pada umumnya sudah paham betul mengenai hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma.
Kendala yang ada dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma pada praktik dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu hambatan pada tahap penyidikan yaitu j arang ditawarkannya pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada tersangka dan kurangnya pengetahuan penyidik mengenai bantuan hukum secara cuma-cuma serta hambatan pada tahap penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan yaitu mengenai rendahnya besaran biaya jasa advokat yang didanai oleh APBN

Friday, July 24, 2009

UNTUNG RUGI DI PASAR MODAL (TINJAUAN ATAS INVESTASI REKSADANA)

Di bidang pasar modal, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Undang-Undang Pasar Modal). Pertimbangan diterbitkannya Undang-Undang Pasar Modal tersebut adalah bahwa pasar modal sangat penting bagi setiap perusahaan, baik yang baru berdiri maupun yang akan ekspansi karena modal yang diterima dari pasar modal bersifat tetap dan tidak berbunga. Dengan menjual saham suatu perusahaan di pasar modal, perusahaan akan dapat memperbesar modalnya tanpa terbebani bunga pinjaman.
Pengertian pasar modal menurut Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Selanjutnya pengertian penawaran umum adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Pasar Modal, yaitu kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
Adapun pengertian efek sendiri menurut ketentuan Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Pasar Modal adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.
Salah satu kegiatan di bidang pasar modal yang sedang berkembang dan banyak menjadi pembicaraan masyarakat adalah reksadana. Reksadana menurut Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Pasar Modal adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi.


Reksadana atau sering juga disebut mutual fund adalah sertifikat yang menjelaskan bahwa pemiliknya menitipkan uang kepada pengelola reksadana (manajer investasi) untuk digunakan sebagai modal berinvestasi. Membeli reksadana tidak ubahnya menabung. Bedanya surat tanda menabung tidak dapat diperjualbelikan, sedangkan reksadana dapat diperjualbelikan. Keuntungan investasi reksadana dapat datang dari 3 (tiga) sumber, yaitu bunga, capital gain, dan peningkatan nilai aktiva bersih (NAB).
Bunga adalah biaya yang dikenakan kepada peminjam uang atau imbalan yang diberikan kepada penyimpanan uang yang besarnya telah ditetapkan di muka, biasanya ditentukan dalam bentuk prosentase dan terus dikenakan selama masih ada sisa simpanan atau pinjaman sehingga tidak hanya terbatas pada jangka waktu kontrak. Dengan perkataan lain bunga adalah tambahan yang dibayarkan pada transaksi pinjam meminjam di mana tambahan itu ditetapkan di muka berdasarkan prosentase pokok modal.
Capital gain adalah pendapatan yang berasal dari kenaikan harga saham atau diskon obligasi yang menjadi portofolio reksadana. Nilai aktiva bersih (NAB) adalah perbandingan antara total nilai investasi yang dilakukan oleh manajer investasi dengan total volume reksadana yang diterbitkan.
Reksadana menjadi pembicaraan banyak kalangan pada saat ini, karena diharapkan dapat membawa angin segar bagi perkembangan dunia pasar modal yang sangat diperlukan oleh perekonomian Indonesia. Perkembangan reksadana ini juga tidak terlepas dari peranan manajer investasi yang berfungsi menentukan kebijakan portofolio dan alokasi aset reksadana agar memperoleh hasil yang optimal.
Sebagaimana yang terjadi pada setiap investasi, maka faktor untung dan rugi selalu menjadi pertimbangan bagi para investor untuk menentukan keikutsertaannya.
Memperbandingkan keuntungan dan kerugian reksadana sebagaimana tersebut di atas, maka menurut penulis lebih banyak untungnya dibandingkan kerugiannya. Keuntungan berinvestasi melalui reksadana antara lain adalah :
1) Investor memiliki akses untuk menyusun portofolio dari beragam instrumen investasi yang sulit (dan mahal) untuk dilakukan sendiri.
2) Diversifikasi secara otomatis. Portofolio investor dengan sendirinya akan tersebar ke beragam aset sesuai dengan profil risiko masing-masing.
3) Barrier to entry rendah. Siapapun bisa memulai berinvestasi reksadana as low as Rp 200 ribu saja.
4) Investasi dikelola oleh Manajer Investasi profesional dengan administrasi oleh kustodian dan diawasi secara ketat oleh Bapepam LK.
5) Hasil investasi reksadana bukan (belum) menjadi obyek pajak. Kupon dari obligasi hingga saat ini juga belum menjadi obyek pajak.
6) Likuiditas tinggi. Unit penyertaan dapat dibeli atau dijual kembali setiap hari bursa melalui Manajer Investasi.
Sedangkan kemungkinan terburuk kerugian yang dialami oleh investor adalah hilangnya dana atau tidak kembalinya dana yang telah diinvestasikan. Sebagai ilustrasi untuk memperjelas keuntungan dan kerugian investasi melalui reksadana adalah misalnya si A membeli produk reksadana seharga Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah). Dengan modal sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) tersebut, kemungkinan keuntungan yang didapat oleh A adalah sangat berlipat, sedangkan kerugiannya paling hanya sebesar modal tersebut. Namun apabila melihat pengaturan tentang penjualan reksadana, sebagaimana diatur dalam SEBI No. 7/19/DPNP/2005 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas Berkaitan dengan Reksadana, dan Peraturan BI Nomor V.B.3 (2006) tentang Pendaftaran Agen Penjual Efek Reksadana bahwa pegawai agen penjual efek reksadana yang melakukan penjualan efek reksadana wajib memiliki izin orang perseorangan sebagai WAPERD, maka keuntungan investor reksadana lebih besar kemungkinannya dibandingkan dengan tingkat kerugiannya.

Thursday, July 23, 2009

KRISIS HUKUM DAN ERA GLOBALISASI

Globalisasi telah menimbulkan dampak yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Globalisasi merupakan proses internasionalisasi seluruh tatanan masyarakat modern. Pada awalnya proses ini hanya pada tataran ekonomi, namun dalam perkembangannya cenderung menunjukkan keragaman. Malcolm Waters mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya. Dari segi dimensi globalisasi budaya, muncul beberapa jenis space atau lukisan, seperti: etnospace, technospace, financespace, mediaspace, ideaspace, dan sacrispace. Dengan demikian, universalisasi sistem nilai gobal yang terjadi dalam dimensi kebudayaan telah mengaburkan sistem nilai (values system) kehidupan manusia, khususnya pada negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam menghadapi tahun era pasar bebas.
Indonesia adalah negara dengan tingkat populasi yang cukup tinggi. Dengan krisis ekonomi yang melanda bangsa, kehidupan rakyat kita semakin terseok-seok. Hal ini ditambah lagi dengan semakin bobroknya moral masyarakat dan para pejabat negara yang sampai saat ini belum tertangani secara memuaskan. Dewasa ini kehancuran moral telah merasuk dalam beragam bentuknya nyaris dapat ditemui pada semua lapisan masyarakat dan pada semua dimensi kehidupan: politik, sosial, ekonomi, atau pendidikan. Dalam kehidupan politik para politisi lebih terfokus pada perebutan kekuasaan, terutama menjelang Pemilu 2009 daripada mengembangkan kepedulian untuk bersama-sama memperbaiki situasi negara dan bangsa. Janji-janji mereka saat kampanye pemilu bahwa mereka akan memperjuangkan nasib rakyat belum dibuktikan secara serius dan nyata sampai kini dan hanya isapan jempol saja.
Para politisi dan wakil rakyat yang duduk di parlemen justru melakukan money politics dan money game; dua istilah yang sudah sangat populer pada tataran masyarakat lapisan bawah (grass-root). Istilah tersebut sudah tidak lagi menjadi rahasia, bahkan cenderung menjadi semacam sinisme yang ditujukan terhadap kaum politisi.


Demikian pula di lembaga legislatif (DPR/DPRD) ketika budaya 3D (datang, duduk, dan diam) sangat popular. Bermoralkah para politisi kita di DPR/DPRD yang mendapatkan berbagai fasilitas dan kesejahteraan yang semuanya dibayar dari uang hasil keringat rakyat (mungkin juga uang pinjaman luar negeri yang dalam hal ini akan menjadi beban rakyat juga sampai beranak-pinak), tetapi kurang atau bahkan sama sekali tidak peduli dengan penderitaan dan perjuangan para pengungsi, petani, buruh tani, nelayan kaum cilik yang miskin yang telah berjasa membuat mereka menjadi besar dan terhormat? Bukankah mereka itu seyogianya berpihak, membela, dan memperjuangkan mayoritas masyarakat miskin agar bisa hidup layak seperti orang-orang yang telah diangkatnya?
Gejolak sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat adalah dampak ketimpangan sosial ekonomi antar sesamanya. Betapa kesalnya mereka ketika melihat para wakil rakyat yang mereka percaya justru melakukan tindakan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Di samping itu, ternyata praktik korupsi juga turut melanda institusi pendidikan (18,1%), kesehatan (21,2%), bahkan lembaga keagamaan tidak luput dari korupsi (27,7%), (Kompas, hlm. 8, tanggal 17 September 2001).
Menurut Lembaga Transparancy International, Indonesia termasuk dalam kategori negara terkorup nomor tiga (1999), nomor empat (2000) di dunia, dan nomor dua di dunia (Metro TV) pada tahun 2001. Setelah melakukan perbuatan itu, mereka akan berbondong-bondong kembali ke agama masing-masing dan tetap mengulanginya di waktu yang lain. Kondisi seperti itu membuat mereka menjadikan agama sekadar sarana penebus dosa atau meminjam istilah Gordon W. Alport “something to use but not to live”. Mereka menjadikan agama untuk pencapaian kepentingan. Dengan demikian, mereka mengorbankan kejujuran dan ketulusan serta nilai-nilai moral dan sosial yang lain asal tujuan mereka tercapai. Pada saat sama, mereka pun rajin melakukan ibadah-ibadah ritual sebagai penebus dosa-dosanya.
Akhirnya, masyarakat kecil yang harus memikul beban. Dari korupsi yang terus membengkak, beban utang yang menyesakkan, pendidikan yang bersifat pesanan atau titipan penguasa dan menjauhkan diri dari nilai-nilai kemanusiaan, sampai konflik elite yang bersifat premanistik, semua itu hanya menyisakan penderitaan paling parah pada masyarakat di tingkat akar rumput. Penderitaan itu telah membuat masyarakat benar-benar tidak berdaya. Kesejahteraan, ketenangan, dan cita-cita agung yang dirangkai sejak Indonesia merdeka mulai tercerai-berai dan menghilang di balik ambisi kekuasaan sekelompok kecil bangsa. Sebagai gantinya, perasaan anomi dan dampak-dampak yang menyertainya menjadi bagian yang melekat pada kehidupan masyarakat.
Dari banyak komponen yang membentuk struktur keberadaan suatu bangsa seperti sumber daya alam, posisi demografis negara, keberagaman (dalam hal suku, bahasa, agama, dll), komposisi penduduk (usia, pendapatan, dll), warisan filsafat dan nilai-nilai bangsa dan manusia sebagai warga negara yang mengelola seluruh sumber daya bangsanya, maka harus disadari bahwa komponen paling penting untuk dapat berlangsungnya kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut adalah sang pengelola itu sendiri dan satu-satunya pengelola tersebut adalah manusia.
Manusia adalah subjek sekaligus objek dari pembangunan sebuah bangsa. Jadi, sebenarnya apa yang tengah diusahakan dan dikerjakan dengan begitu serius oleh seluruh manusia adalah demi manusia itu sendiri; yaitu demi kesejahteraan dan kemakmuran. Bila kita sadari, memang sesungguhnya yang menjadi akar serta inti paling penting untuk berlangsungnya berbangsa dan bernegara adalah manusia, maka menjadi relevan bila kita simpulkan bahwa titik pangkal untuk kita memulai mengurai benang kusut krisis multidimensi di Indonesia adalah diawali dari manusia Indonesia itu sendiri.
Pemahaman manusia sebagai objek dari pembangunan lebih ditekankan pada kekuasaan manusia itu sendiri dalam suatu negara. Maka menjadi tidak mengherankan apabila kekuasaan sering membutakan manusia itu sendiri dalam usaha pencapaiannya.
Berpijak dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik pengertian bahwa hukum, moralitas dan kekuasaan merupakan dasar yang harus mendapatkan perhatian serius guna tercapainya kemajuan bangsa. Terlebih lagi di era globalisasi ini, dimana keterbukaan dunia yang ada sangat rentan merubah sifat dasar manusia dan budaya suatu bangsa, termasuk bangsa Indonesia.
Pembangunan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebagai motto globalisasi ternyata telah mengakibatkan rusaknya kualitas lingkungan hidup di beberapa tempat wilayah tanah air. Pencemaran air, udara dan atmosfer semakin mengancam upaya masyarakat mendapatkan kondisi kehidupan yang berkualitas. Lahan subur pertanian di Jawa secara cepat telah beralih status menjadi areal industri, pemukiman dan perdagangan. Penegakan hukum dalam menciptakan tata-ruang ekonomi dan sosial yang seimbang dan sehat perlu mendapatkan perhatian dan prioritas.
Banyak dijumpai peraturan perundangan, hukum dan kebijakan dari pimpinan perusahaan-perusahaan besar dan menengah yang belum mencerminkan keadilan, kesetaraan dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia, hak usaha kecil, dan hak rakyat kecil. Di sisi lain, perkembangan globalisasi telah menjadikan hukum tertinggal dari dinamika kehidupan bermasyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya krisi hukum. Pengertian krisis hukum di sini lebih ditekankan pada belum mampunya hukum mengikuti perkembangan masyarakat dan tidak adanya kepatuhan hukum.

PENGATURAN BATAS WILAYAH INDONESIA

Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari sabang hingga merauke. Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3 mil laut dari garis pantai (Coastal baseline) setiap pulau, yaitu perairan yang mengelilingi Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda. Namun ketetapan batas tersebut, yang merupakan warisan kolonial Belanda, tidak sesuai lagi untuk memenuhi kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia. Atas pertimbangan tersebut, maka lahirlah konsep Nusantara (Archipelago) yang dituangkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957.
Isi pokok dari deklarasi tersebut “Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia”.
Deklarasi Djuanda dikukuhkan pada tanggal 18 Pebruari 1960 dalam Undang-Undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Ketetapan wilayah Republik Indonesia yang semula sekitar 2 juta km2 (daratan) berkembang menjadi sekitar 5,1 juta km2 (meliputi daratan dan lautan). Dalam hal ini, ada penambahan luas sebesar sekitar 3,1 juta km2, dengan laut teritorial sekitar 0,3 juta km2 dan perairan laut nusantara sekitar 2,8 juta km2. konsep Nusantara dituangkan dalam Wawasan Nusantara sebagai dasar pokok pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara melalui ketetapan MPRS No. IV tahun 1973.


Pada konferensi Hukum Laut di Geneva tahun 1958, Indonesia belum berhasil mendapatkan pengakuan Internasional. Namun baru pada Konferensi Hukum Laut pada sidang ke tujuh di Geneva tahun 1978. Konsepsi Wawasan Nusantara mendapat pengakuan dunia internasional. Hasil perjuangan yang berat selama sekitar 21 tahun mengisyaratkan kepada Bangsa Indonesia bahwa visi maritim seharusnya merupakan pilihan yang tepat dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melalui Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) pada tahun 1982, yang hingga kini telah diratifikasi oleh 140 negara, negara-negara kepulauan (Archipelagic states) memperoleh hak mengelola Zona Ekonomi Eksklusif seluas 200 mil laut diluar wilayahnya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai hak mengelola (yurisdiksi) terhadap Zona Ekonomi Eksklusif, meskipun baru meratifikasinya. Hal itu kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No. 17 tanggal 13 Desember 1985 tentang pengesahan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) mencapai jarak 200 mil laut, dikukur dari garis dasar wilayah Indonesia ke arah laut lepas. Ketetapan tersebut kemudian dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif Indonesia. Konsekuensi dari implementasi undang-undang tersebut adalah bahwa luas wilayah perairan laut Indonesia bertambah sekitar 2,7 juta Km2, sehingga menjadi sekitar 5,8 juta Km2.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu, 1. Perairan Pedalaman (Internal waters), 2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, 3. Laut Teritorial (Teritorial waters), 4. Zona tambahan ( Contingous waters), 5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone), 6. Landas Kontinen (Continental shelf), 7. Laut lepas (High seas), 8. Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun, sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia.
Secara geografis, dengan jumlah 17.508 pulau dan panjang pantai hingga mencapai 95.180 kilometer agenda menjaga keutuhan NKRI perlu menjadi prioritas. Pemerintah RI perlu tegas atas berbagai provokasi yang mengganggu kedaulatan wilayah RI. Menjaga keutuhan NKRI, meliputi keutuhan dan kedaulatan wilayah negara dan wilayah perbatasan, serta pengembangan dan pemberdayaan di masyarakat wilayah perbatasan. Kedaulatan dan keutuhan NKRI dimaksud meliputi wilayah daratan, wilayah perairan, dan wilayah udara mutlak. Indonesia harus memiliki landasan hukum yang kuat terkait eksistensi wilayah negara dan wilayah perbatasan.
Munculnya beberapa provokasi yang mengganggu kedaulatan NKRI perlu menjadi perhatian Pemerintah RI. Misalnya saka kasus Blok Ambalat, pencurian hasil laut oleh kapal-kapal asing, dan penyelundupan kayu hasil illegal logging ke negara lain.
Oleh sebab itu Pemerintah Indonesia telah menerbitkan sebuah undang-undang yang khusus mengatur tentang wilayah Negara, yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
Disebutkan dalam Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 bahwa landas kontinen Indonesia adalah meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang di luar laut territorial,sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal dimana lebar laut territorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 mil laut sampai dengan jarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter.
Menyikapi ketentuan Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa ketentuan tentang batas landas kontinen tersebut masih belum dapat dilaksanakan atau dijadikan acuan sepenuhnya. Artinya masih memungkinkan terjadinya konflik tentang pengakuan wilayah Indonesia dengan Negara tetangga.
Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia. Hampir 17000 pulau besar dan kecil tersebar di seluruh perairan nusantara. Sebagaimana diucapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, saat ini terdapat 90 pulau berada dititik terluar wilayah Indonesia, 88 diantaranya berbatasan langsung dengan Negara tetangga. Tidak hanya P. Sipadan dan Ligitan saja pulau-pulau yang kepemilikannya cukup rawan. Sebenarnya, beberapa pulau di Perairan Indonesia mempunyai potensi untuk hilang, semisal pulau Lapis di Kalimantan Barat yang kebudayaan penduduknya lebih dekat ke Thailand daripada Indonesia. Masyarakat di pulau Myangas di perbatasan Filipina, dominan dipengaruhi kebudayaan Filipina. Selain itu, pulau Nipah yang saat ini disengketakan dengan Singapura dan Malaysia, berkaitan dengan penambangan pasir laut. Ada sekitar 12 pulau yang belum jelas kekuatan hukumnya dengan negara tetangga. Jarak laut pulau-pulau terluar tersebut dengan wilayah negara tetangga tidak ada 100 mil, sehingga untuk menentukan batas-batasnya masih banyak kendala. Contohnya saja adalah jarak antara pulau Bintan (Indonesia) dan Johor (Malaysia) yang jaraknya diperkirakan 11 mil laut.
Dari contoh tersebut di atas, terlihat bahwa ketentuan Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tidak dapat diterapkan pada penentuan batas wilayah antara pulau Bintan (Indonesia) dan Johor (Malaysia).

Wednesday, July 22, 2009

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTASI DANA MASYARAKAT

Sektor perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem pembayaran merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses penyesuaian kebijakan pemerintah. Penyempurnaan terhadap sistem perbankan nasional yang bukan hanya mencakup penyehatan sistem perbankan, namun secara menyeluruh terus dilakukan oleh pemerintah. Dari pihak swasta sendiri (para bankir), terus berupaya melakukan terobosan-terobosan baru guna lebih mengoptimalkan fungsi dan peranan perbankan nasional bagi pemulihan dan perkembangan perekonomian nasional.
Bank secara umum merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Oleh karena itu, bank harus pula meningkatkan kinerjanya melalui berbagai bentuk layanan kepada nasabah. Sebagai lembaga keuangan yang memegang peranan penting dalam menyelenggarakan lalu lintas pembayaran bagi masyarakat pada umumnya dan pelaku usaha pada khususnya.
Mengenai usaha bank ini diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (untuk selanjutnya dalam tulisan ilmiah ini disebut Undang-Undang Perbankan). Disebutkan dalam Pasal 6 huruf e Undang-Undang Perbankan bahwa usaha bank umum antara lain meliputi memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
Perkembangan yang terjadi pada saat ini, dimana kepercayaan masyarakat kepada bank masih sangat tinggi, yang terbukti dari banyaknya masyarakat yang menanamkan danaya kepada bank atau pada pihak ketiga melalui jasa bank, menjadikan masyarakat penyimpanan dana membutuhkan perlindungan baik dari pemerintah ataupun dari pihak bank sendiri akan keamanan dananya.


Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat tergantung kepada kepercayaan dari masyarakat, sehingga tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, tentu suatu bank tidak akan mampu menjalankan usahanya dengan baik. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikian rupa menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah dari bank yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, dalam rangka untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurangpercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan, yang pada saat ini tengah gencar melakukan ekspansi untuk mencari dan menjaring nasabah, maka perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan terhadap kemungkinan terjadinya kerugian sangat diperlukan.
Hubungan hukum antara nasabah dengan pihak bank adalah didasarkan atas suatu perjanjian, untuk itu adalah merupakan suatu kewajaran apabila kepentingan dari nasabah penyimpan dana memperoleh perlindungan hukum, sebagaimana perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada bank.
Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap nasabah bank tersebut, Marulak Pardede sebagaimana dikutip oleh Hermansyah mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai perlindungan langsung terhadap nasabah dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu:
a. Perlindungan secara implisit, yaitu perlindungan yang dihasilkan melalui pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank;
b. Perlindungan secara eksplisit, yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank gagal tersebut.
Selain perlindungan secara langsung tersebut di atas, terdapat juga perlindungan secara tidak langsung yang diberikan oleh bank terhadap nasabahnya yaitu suatu perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana terhadap segala risiko kerugian yang timbul dari suatu kebijaksanaan atau timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.
Perlindungan terhadap dana nasabah yang ditanam melalui deposito adalah masih menjadi tanggung jawab bank sesuai dengan jenis usaha bank yang diatur dalam Undang-undang Perbankan. Dalam hal dana masyarakat di investasi kepada pihak ketiga, pihak bank tidak ikut bertanggung jawab atas keselamatan dana tersebut. Hal tersebut dikarenakan kedudukan pihak bank hanya sebagai perantara atau penjual, sedangkan keputusan penempatan dana mutlak menjadi kewenangan dan keputusan nasabah sendiri. Dalam hal ini upaya bank dalam memberikan perlindungan kepada nasabah hanya sebatas memberikan gambaran dan penjelasan mengenai prospek investasi.

PERAN SERTA PEMERINTAH TERHADAP PERKEMBANGAN BISNIS WARALABA DI INDONESIA

Pesatnya perkembangan dunia usaha dan industri di Indonesia saat ini membawa dampak yang sangat besar dalam dinamika bisnis di negara ini. Kondisi perekonomian serta tuntutan menuju pasar bebas dunia menjadikan para pengusaha saling berlomba dalam mengembangkan usahanya.
Berbagai terobosan dan bentuk kerjasama banyak dilakukan oleh pelaku usaha di berbagai sektor. Salah satu bentuk terobosan yang saat ini banyak menjadi bahan perbincangan adalah kerjasama dagang dalam bentuk waralaba.
Pengertian waralaba menurut A. Abdurrahman adalah:
“Suatu persetujuan atau perjanjian antara levaransir dan pedagang eceran atau pedagang besar, yang menyatakan bahwa yang tersebut pertama itu memberikan kepada yang tersebut terakhir itu suatu hak untuk memperdagangkan produknya, dengan syarat-syarat yang disetujui oleh kedua belah pihak”.
Selanjutnya dalam kamus Dictionary of Bussiness Terms, sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady, disebutkan bahwa waralaba atau franchise mempunyai banyak arti, yang antara lain adalah sebagai berikut:
1.Suatu izin yang diberikan oleh sebuah perusahaan (franchisor) kepada seseorang atau kepada suatu perusahaan (franchisee) untuk mengoperasikan suatu outlet retail, makanan atau supermarket di mana pihak franchisee setuju untuk menggunakan milik franchisor berupa nama, produk, servis, promosi, penjualan, distribusi, metode untuk display, dan lain-lain company support.
2.Hak untuk memasarkan barang-barang atau jasa perusahaan dalam suatu wilayah tertentu, hak tersebut telah diberikan oleh perusahaan kepada seorang individu, kelompok individu, kelompok marketing, pengecer atau grosir.
Di Indonesia, perkembangan waralaba menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Perkembangan yang cukup pesat tersebut dapat dilihat dari adanya kecenderungan baru pengembangan usaha lewat waralaba bukan lagi monopoli perusahaan asing. Franchisor domestik telah lahir bahkan berkembang di berbagai kota besar di Indonesia, seperti misalnya Es Teler 77, Kebab Turki Yogya, Ny. Tanzil Friedchiken, Pisang Goreng Pontianak, Indomaret dan masih banyak lainnya.
Karena sistem bisnis franchise atau waralaba begitu menarik dan menguntungkan bagi pengusaha kecil atau pengusaha lokal, maka Pemerintah memandang perlu mengatur bisnis tersebut. Untuk menciptakan tertib usaha dengan cara franchise atau waralaba serta untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, maka telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba melalui Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1997 yang dalam perkembangannya telah dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.


Untuk meningkatkan peranan dan keikutsertaan masyarakat luas dalam usaha franchise atau waralaba ini, perlu adanya peran serta pengusaha kecil dan menengah, baik sebagai penerima atau pemberi franchise. Usaha franchise atau waralaba perlu dikembangkan lagi dalam rangka mendorong pertumbuhan dan pengembangan perekonomian rakyat Indonesia. Setiap pengusaha yang menjalankan usaha franchise atau waralaba wajib mendaftarkan usahanya, sehingga dapat diketahui perkembangan franchise atau waralaba secara nasional. Dalam hal pendaftaran usaha franchise atau waralaba, Menteri Perindustrian dan Perdagangan telah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 259/MPP/Kep/7/2007 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
Perhatian pemerintah terhadap pelaku ekonomi dilakukan melalui campur tangan pemerintah di bidang regulasi, yaitu dalam hal membuat aturan main yang terangkum dalam peraturan perundang-undangan sebagai kodifikasi hukum. Berbagai kebijakan pemerintah telah dilakukan dalam upaya menunjang pembangunan ekonomi, baik kebijakan secara makro ataupun kebijakan ekonomi mikro. Salah satu kebijakan mikro yang dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan perhatian yang lebih kepada para pelaku ekonomi agar mampu meningkatkan usahanya. Salah satu wujud perhatian pemerintah terhadap pelaku usaha tersebut adalah melalui pencanangan program kemitraan.
Kenyataan menunjukkan bahwa usaha kecil masih belum dapat mewujudkan kemampuan dan peranannya secara optimal dalam perekonomian nasional. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa Usaha Kecil masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat eksternal maupun internal, dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi, serta iklim usaha yang belum mendukung bagi perkembangannya.
Sehubungan dengan itu, Usaha Kecil perlu memberdayakan dirinya dan diberdayakan dengan berpijak pada kerangka hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 demi terwujudnya demokrasi ekonomi yang bedasar pada asas kekeluargaan. Pemberdayaan Usaha Kecil dilakukan melalui :
a. Penumbuhan iklim usaha yang mendukung bagi pengembangan Usaha Kecil;
b. Pembinaan dan pengembangan Usaha Kecil serta kemitraan Usaha Kecil.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka untuk menghasilkan tingkat efisiensi dan produktivitas yang optimal diperlukan sinergi antara pihak yang memiliki modal kuat, teknologi maju, manajemen modern dengan pihak yang memiliki bahan baku, tenaga kerja dan lahan. Sinergi ini dikenal dengan istilah kemitraan.
Kemitraan yang dihasilkan merupakan suatu proses yang dibutuhkan bersama oleh pihak yang bermitra dengan tujuan memperoleh nilai tambah. Hanya dengan kemitraan yang saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling memperkuat, dunia usaha baik kecil maupun menengah akan mampu bersaing. Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis.
Program kemitraan secara yuridis formal diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan.
Disebutkan dalam Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 bahwa kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar.
Pada dasarnya kemitraan itu merupakan suatu kegiatan saling menguntungkan dengan pelbagai macam bentuk kerjasama dalam menghadapi dan memperkuat satu sama lainnya. Julius Bobo menyatakan, bahwa tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya.
Berkaitan dengan kemitraan seperti yang telah disebut di atas, maka kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok yang merupakan kerjasama usaha dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling memerlukan yaitu :
a. Kerjasama Usaha
Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada yang saling mengekspoitasi satu sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam mengembangkan usahanya.
b. Antara Pengusaha Besar atau Menengah Dengan Pengusaha Kecil
Dengan hubungan kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan pengusaha besar atau menengah dapat menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi lainnya, sehingga pengusaha kecil akan lebih berdaya dan tangguh di dalam berusaha demi tercapainya kesejahteraan.
Adapun bentuk atau pola kemitraan menurut Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, yaitu pola Inti Plasma, sub-kontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti: bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourching). (Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008).
Mendasarkan ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tersebut di atas, terlihat bawha wearalaba merupakan salah satu bentuk kemitraan.memang diakui bahwa hingga saat ini Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai waralaba belum ada di Indonesia. Namun begitu masih dapat dijumpai di sana sini dalam hukum positif Indonesia yang menyinggung tentang waralaba selain Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, yaitu:
a. Perjanjian sebagai dasar hukum;
Bisnis waralaba adalah didasarkan pada perjanjian, sedangkan menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mempunyai kekuatan berlaku seperti kekuatan berlakunya suatu undang-undang.
b. Undang-Undang Merek, Paten, dan Hak Cipta sebagai dasar hukum;
Sebagaimana diketahui, bahwa bisnis waralaba sangat terkai dengan masalah-masalah yang berkenaan dengan merek atau paten dan hak cipta. Sehingga Undang-Undang Merek, Paten dan Hak Cipta berlaku juga terhadap bisnis waralaba.

c. Undang-Undang Penanaman Modal Asing sebagai dasar hukum;
Terhadap operasional suatu waralaba yang melintas antar negara, aspek-aspek tentang penanaman modal asing juga berlaku.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa pengaturan hukum positif mengenai bisnis waralaba di Indonesia hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.
Disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007, bahwa yang dimaksud dengan waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Adapun perjanjian waralaba sebagaimana dimaksud di atas diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud di atas ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007).
Selanjutnya disbeutkan dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007, bahwa perjanjian waralaba memuat klausula paling sedikit :
a. nama dan alamat para pihak;
b. jenis Hak Kekayaan Intelektual;
c. kegiatan usaha;
d. hak dan kewajiban para pihak;
e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;
f. wilayah usaha;
g. jangka waktu perjanjian;
h. tata cara pembayaran imbalan;
i. kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris;
j. penyelesaian sengketa; dan
k. tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.
Sebagaimana dalam perjanjian pada umumnya, dalam perjanjian waralaba juga terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Disebutkan dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007, bahwa kewajiban pemberi waralaba adalah:
(1) Pemberi Waralaba harus memberikan prospektus penawaran Waralaba kepada calon Penerima Waralaba pada saat melakukan penawaran.
(2) Prospektus penawaran Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit mengenai :
a. data identitas Pemberi Waralaba;
b. legalitas usaha Pemberi Waralaba;
c. sejarah kegiatan usahanya;
d. struktur organisasi Pemberi Waralaba;
e. laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir;
f. jumlah tempat usaha;
g. daftar Penerima Waralaba; dan
h. hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba
Pemberi Waralaba menurut ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 juga wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada Penerima Waralaba secara berkesinambungan.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tidak banyak mengatur tentang hak dan kewajiban penerima waralaba. Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 hanya mewajibkan penerima waralaba untuk mendaftarkan perjanjian waaralaba. Pendaftaran dimaksud dilakuan di Kantor atau instansi yang berwenang di masing-masing daerah.

KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERSEKUSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Peradaban dunia pada saat ini ditandai dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir disemua sektor k...