Friday, November 9, 2018

PELAKSANAAN PENYITAAN BARANG BUKTI OLEH PENYIDIK POLRES KUDUS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PERJUDIAN

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari penegak hukum di Indonesia, yang mempunyai tugas pokok sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu memelihara  keamanan  dan  ketertiban  masyarakat, menegakkan  hukum dan memberikan  perlindungan,  pengayoman,  dan  pelayanan  kepada masyarakat.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi pada saat ini, cara berpikir, bersikap dan bertindak masyarakat mengalami banyak perubahan. Perubahan sikap, pandangan dan orientasi warga masyarakat inilah yang mempengaruhi kesadaran hukum dan penilaian terhadap suatu tingkah laku. Hal ini juga berimbas dengan semakin banyaknya ragam tindak pidana yang menggunakan pola-pola canggih atau dengan sarana tekhnologi yang canggih.

Untuk mengantisipasi perkembangan masyarakat dalam kaitannya dengan pola-pola tindak pidana tersebut, maka dapat dilakukan usaha perencanaan pembuatan  hukum pidana yang menampung segala dinamika masyarakat.       Hal ini adalah sesuai dengan fungsi hukum pidana sebagai sarana dalam mengatur kehidupan masyarakat.
Dalam segala aspek kehidupan masyarakat sering muncul suatu perbuatan yang melanggar hukum mulai dari kehidupan sosial masyarakat yang paling bawah sampai dengan kehidupan masyarakat kalangan atas sehingga perlu adanya suatu aturan yang jelas dalam menata kehidupan sosial bermasyarakat,  Hukum pidana seringkali digunakan untuk menyelesaikan masalah sosial, termasuk masalah perjudian sebagai salah satu bentuk penyakit masyarakat. 
Penegakan hukum pidana untuk menanggulangi perjudian sebagai perilaku yang menyimpang harus terus dilakukan. Hal ini sangat beralasan karena perjudian merupakan ancaman nyata terhadap norma-norma sosial yang dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial. Perjudian merupakan ancaman riil atau potensil bagi berlangsungnya ketertiban sosial.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai sumber hukum pidana materiil di Indonesia mengatur perjudian dalam dua pasal, yaitu Pasal 303 Titel XIV Buku II tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, dan Pasal 542 KUHP Titel VI Buku III tentang Pelanggaran Kesusilaan.
Disebutkan dalam Pasal 303 KUHP, yaitu bahwa:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak enam ribu rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin:
1. dengan tidak berhak melakukan sebagai perusahaan perbuatan-perbuatan berupa sengaja menawarkan atau memberi kesempatan berjudi atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu;
2. dengan tidak berhak sengaja menawarkan atau memberi kepada umum kesempatan berjudi atau sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu, biarpun diadakan atau tidak diadakan suatu syarat atau cara dalam hal penggunaan kesempatan itu;
3. dengan tidak berhak melakukan sebagai perusahaan perbuatan turut serta dalam perjudian.
(2) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pekerjaan itu.
(3) Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.

Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 542 KUHP, bahwa:
(1) Diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, barang siapa:
1. mempergunakan kesempatan berjudi yang diadakan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dari Pasal 303 KUHP;
2. turut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau oleh seorang penguasa diberikan izin mengadakan perjudian itu.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidananya dapat dilipatduakan.

Dalam upaya mempertegas penanggulangan perjudian di Indonesia, Pemerintah telah menerbitkan suatu peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang perjudian, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, yang diikuti dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 menyatakan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Dengan demikian ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tersebut sekaligus menghapus ketentuan Pasal 542 KUHP. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974, bahwa:
(1) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat (1) Kitab Undang- undang Hukum Pidana, dari Hukuman penjaara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah.
(2) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (1) Kitab Undang- undang Hukum Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah, menjadi hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah.
(3) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (2) Kitab Undang- undang Hukum Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah.
(4) Merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis.

Ketentuan yang mengatur tentang sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana perjudian di atas adalah termasuk dalam hukum material, sehingga untuk melaksanakannya diperlukan hukum formalnya atau yang dalam hal ini adalah Hukum Acara Pidana yang diatur secara khusus dalam Undang - Undang      Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut dengan KUHAP.
Tujuan dari Hukum Acara Pidana yang tersusun dalam KUHAP adalah: 
“Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan di pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu bisa dipersalahkan”.

Hukum Acara Pidana mempunyai fungsi melaksanakan atau menegakkan Hukum Pidana, karena Hukum Acara Pidana merupakan aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak atau orang-orang lain yang terlibat didalamnya, apabila ada persangkaan bahwa Hukum Pidana dilanggar.
Hukum Acara Pidana mengatur cara-cara yang harus ditempuh dalam menegakkan ketertiban hukum dalam masyarakat, sekaligus bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi tiap-tiap individu baik yang menjadi korban maupun si pelanggar. Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan sekaligus untuk perlindungan hak-hak asasi manusia (protection of human rights).

Sebagai upaya mencari kebenaran materiil, Hukum Acara Pidana mengenal dua tahap pemeriksaan, yaitu: 
1. Tahap pemeriksaan pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan adalah proses pemeriksaan perkara pada tahap penyidikan, merupakan tahap awal dari suatu proses perkara pidana. Penyidikan dilakukan oleh penyidik melalui beberapa serangkaian kegiatan untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, dalam hal ini menurut cara yang diatur KUHAP.

2. Tahap pemeriksaan pengadilan
Tahap ini adalah pemeriksaan di muka sidang pengadilan terbuka untuk umum, guna menentukan salah tidaknya seseorang yang didakwa telah melakukan suatu tindak pidana dan dipimpin oleh hakim.

Dalam hal penyidikan, selaku penyidik atau yang mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan menurut Pasal 1 angka (1) KUHAP adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Ketentuan tersebut di atas kembali ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap  semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, bahwa dalam menyelenggarakan tugasnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Adapun yang dimaksud dengan penyitaan menurut ketentuan Pasal 1 angka 16 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Dalam penyidikan terhadap tindak pidana perjudian, penyidik juga berwenang melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana perjudian. Namun dalam praktiknya, masalah penyitaan ini sering mendapat tanggapan negatif dari masyarakat dan bahkan dapat pula memunculkan permasalahan lain di luar penanganan tindak pidana perjudian itu sendiri. Misalnya saja berkaitan dengan penyitaan terhadap uang yang digunakan untuk berjudi, dalam hal ini sering muncul anggapan dari masyarakat bahwa uang yang disita oleh penyidik tidak sepenuhnya digunakan sebagai barang bukti tetapi diambil oleh penyidik. Contoh lainnya misalnya adalah dalam hal penyitaan kendaraan bermotor yang ada di tempat kejadian perkara, dalam hal ini terkadang akan muncul protes dari pemilik kendaraan bermotor tersebut, bahwa kendaraan bermotor dimaksud tidak ada kaitannya dengan tindak pidana perjudian, sehingga penyitaan dianggap mengada-ada dan hanya untuk mencari uang tebusan. 
Adapun pertimbangan dipilihnya wilayah hukum Polres Kudus sebagai lokasi penelitian adalah dengan pertimbangan bahwa tindak pidana perjudian yang terjadi di wilayah hukum Polres Kudus relatif mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, oleh sebab itu diperlukan peran serta semua lapisan masyarakat dalam membantu dalam menjaga keamanan dan ketertiban sehingga tindak pidana yang menjadi penyakit masyarakat yaitu tindak pidana perjudian bisa dihindarkan.
Berpijak dari uraian latar belakang tersebut di atas, sekaligus sebagai upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai penyitaan barang bukti dalam tindak pidana perjudian, maka dipandang perlu dilakukan penelitian terhadap penyitaan barang bukti dalam tindak pidana perjudian melalui bentuk penulisan skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN PENYITAAN BARANG BUKTI OLEH  PENYIDIK POLRES KUDUS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PERJUDIAN”.

No comments:

Post a Comment

KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERSEKUSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Peradaban dunia pada saat ini ditandai dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir disemua sektor k...