Friday, November 9, 2018

ASPEK KEPENTINGAN UMUM DALAM KAITANNYA DENGAN PENGADAAN TANAH PADA PEMBANGUNAN WADUK LOGUNG DI KABUPATEN KUDUS

Indonesia merupakan negara agraris, dan penduduknya sebagian besar hidupnya tergantung pada pertanian, oleh karena itu dapat dimengerti bahwa masalah-masalah pertanahan sangat menarik perhatian, pertanahan merupakan salah satu permasalahan yang sangat penting serta peranannya demi keberhasilan pembangunan bangsa.
Perlu diingat bahwa rakyat Indonesia menganggap tanah sebagai sesuatu yang keramat dan mempunyai hubungan yang magic religius. Dengan kenyataan yang demikian ini, maka mereka tidak mudah untuk melepaskan hubungan dengan tanah miliknya dan tidak jarang pula bahwa sikap hidup yang demikian sering menimbulkan berbagai kesulitan dan permasalahan, apalagi bila tanah yang dimiliki atau dikuasai akan digusur untuk kepentingan pembangunan.

Tanah sebagai hak dasar setiap orang, keberadaannya dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Penegasan lebih lanjut tentang hal itu diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).  Sesuai dengan sifatnya yang multidimensi dan sarat dengan persoalan keadilan, permasalahan tentang dan sekitar tanah seakan tidak pernah surut. Seiring dengan hal itu, gagasan atau pemikiran tentang pertanahan juga terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat sebagai dampak dari perkembangan di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya.
Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi. 
Sebagai karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara, dan rakyat, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup bangsa Indonesia sehingga perlu campur tangan negara turut mengaturnya. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusional sebagaimana tercantum pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi:
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Tanah sebagai bagian permukaan bumi, mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai tempat atau ruang untuk kehidupan dengan segala kegiatannya, sebagai sumber kehidupan, bahkan sebagai suatu bangsa, tanah merupakan unsur wilayah dalam kedaulatan negara. Oleh karena itu tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai hubungan abadi dan bersifat magis religius, yang harus dijaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Selain itu, tanah juga dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial seseorang dalam lingkungan masyarakat.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, tanah telah menjadi salah satu bagian dari pembangunan hukum yang menarik. Hal ini terutama karena sumberdaya tanah langsung menyentuh kebutuhan hidup dan kehidupan manusia dalam segala lapisan masyarakat, baik sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagai suatu bangsa.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang diterbitkan dalam rangka mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, merupakan kenyataan hukum dalam menjelaskan tujuan dari tanah sebagai social asset dan capital asset. Sebagai undang-undang nasional pertama yang dihasilkan 15 (lima belas) tahun setelah kemerdekaan RI, ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal UUPA merupakan perwujudan dari sila-sila Pancasila.
Dalam suasana pembangunan seperti saat sekarang ini, jumlah kebutuhan tanah untuk lahan pembangunan semakin meningkat. Kegiatan-kegiatan pembangunan terutama sekali pembangunan di bidang materiil, baik di kota maupun di pedesaan banyak sekali memerlukan tanah sebagai tempat penampungan kegiatan pembangunan. Pembangunan gedung sekolah, pasar, kantor, proyek pembuatan dan pelebaran jalan, semuanya memerlukan tanah sebagai sarana paling utama.
Untuk menggunakan tanah hak milik dalam kepentingan pembangunan yang menunjang kepentingan umum tidak begitu mudah. Oleh karena itu perlu perencanaan dan proses pengadaan tanah yang sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, yaitu melalui pembebasan tanah.
Pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan yang semula diantara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.  Pembebasan tanah tersebut biasanya terjadi apabila tanah yang dimaksud akan dipergunakan untuk kepentingan umum.
Mengenai pengertian kepentingan umum tersebut, Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum mendefinisikan sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah, serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Dalam Keppres tersebut, pengadaan tanah dilakukan atas dasar musyawarah langsung. Adapun yang dimaksud dengan musyawarah langsung adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara para pihak untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian (Pasal 1).
Setahun setelah terbitnya Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pada tanggal 14 Juni 1994 telah terbit peraturan pelaksanaannya, yakni Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994. Peraturan ini antara lain mengatur secara rinci tata cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan tentang ganti kerugian.
Dalam perkembangannya, Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan, oleh karena itu dicabut dan di ganti dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum pada tanggal 3 Mei 2005.
Selanjutnya dalam hal pengertian kepentingan umum, terdapat perbedaan antara Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005. Menurut Perpres kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat, tanpa pembatasan. Sedangkan menurut Keppres, kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang dibatasi dengan tiga kriteria, yakni kegiatan pembangunannya dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Dalam perkembangannya, terbitnya Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tersebut di atas menurut pemerintah masih kurang menjamin kesediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, sehingga pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Adapun yang dimaksud kepentingan umum dalam ketentuan Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun demikian, batasan kepentingan umum yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tersebut di atas masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Salah satu contohnya adalah adanya pengajuan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang dimohonkan oleh Serikat Petani Indonesia. Dalam hal ini Serikat Petani Indonesia menganggap bahwa terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 hanyalah upaya pemerintah untuk melegalkan perampasan tanah rakyat dan bertentangan dengan pengakuan hak atas tanah yang dijamin oleh Pasal 28A; Pasal 28G (1); Pasal 28H (1) dan (4) UUD NKRI Tahun 1945.
Pro dan kontra terhadap batasan kepentingan umum dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum juga terjadi di Kabupaten Kudus, yaitu berkaitan dengan pembangunan Waduk Logung yang terletak di Desa Tanjungrejo dan Desa Rejosari Kecamatan Jekulo, serta Desa Kandangmas Kecamatan Dawe. Walaupun proses pembangunan Waduk Logung tersebut sudah mulai dilaksanakan, namun permasalahan yang berkaitan dengan pengadaan tanahnya terus saja berlangsung. Bahkan menjadi permasalahan yang berlarut-larut yang pada akhirnya menjadikan kondisi masyarakat sekitar tidak kondusif.
Berpijak pada uraian latar belakang tersebut di atas, kiranya dipandang perlu dilakukannya penelitian mengenai aspek kepentingan umum dalam pengadaan tanah pada pembangunan Waduk Logung di Kabupaten Kudus melalui bentuk penulisan tesis yang berjudul “Aspek Kepentingan Umum Dalam Kaitannya Dengan Pengadaan Tanah Pada Pembangunan Waduk Logung Di Kabupaten Kudus”.

No comments:

Post a Comment

KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERSEKUSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Peradaban dunia pada saat ini ditandai dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir disemua sektor k...