Wednesday, September 16, 2009

ANALISA UU BATAS WILAYAH INDONESIA

Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari sabang hingga merauke. Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3 mil laut dari garis pantai (Coastal baseline) setiap pulau, yaitu perairan yang mengelilingi Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda. Namun ketetapan batas tersebut, yang merupakan warisan kolonial Belanda, tidak sesuai lagi untuk memenuhi kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia. Atas pertimbangan tersebut, maka lahirlah konsep Nusantara (Archipelago) yang dituangkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957.
Isi pokok dari deklarasi tersebut “Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia”.
Deklarasi Djuanda dikukuhkan pada tanggal 18 Pebruari 1960 dalam Undang-Undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Ketetapan wilayah Republik Indonesia yang semula sekitar 2 juta km2 (daratan) berkembang menjadi sekitar 5,1 juta km2 (meliputi daratan dan lautan). Dalam hal ini, ada penambahan luas sebesar sekitar 3,1 juta km2, dengan laut teritorial sekitar 0,3 juta km2 dan perairan laut nusantara sekitar 2,8 juta km2. konsep Nusantara dituangkan dalam Wawasan Nusantara sebagai dasar pokok pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara melalui ketetapan MPRS No. IV tahun 1973.

KEJAHATAN PERBANKAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG EKONOMI

Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami perkembangan yang pesat sekali dan akan terus berlangsung. Perkembangan ini adalah suatu proses yang menimbulkan perubahan-perubahan dalam segala segi kehidupan masyarakat baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan bidang lain dimana satu sama lain berhubungan dan saling pengaruh mempengaruhi.
Di mulai sejak Proklamasi juga, bangsa Indonesia merdeka menentukan nasib dan kehidupannya sendiri di segala bidang kehidupan. Pada saat itu Indonesia hanya berbekal kondisi ekonomi warisan kolonial sedangkan perkembangan ekonomi berjalan terus tanpa henti seiring berjannya waktu. Untuk memberi arah bagi perkembangan tersebut pemerintah dalam hal ini menyusun rencana pembangunan nasional, yang tiap tahun ditetapkan oleh pemerintah bersama legislatif.
Namun dalam perkembangannya terdapat benyak sekali hambatan-hambatan yang dijumpai sebagai akibat pengaruh-pengaruh baik dari dalam negeri maupun dunia internasional, yang membuat pemerintah harus ikut campur dalam kehidupan ekonomi.

Saturday, September 5, 2009

ASPEK NEGATIF DARI PIDANA PENJARA DAN ALTERNATIF PEMECAHANNYA

Kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan, dan peradaban manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pesatnya perkembangan peradaban tersebut tentunya membawa dampak yang besar sekali di berbagai aspek kehidupan manusia saat ini.
Banyak dampak positif yang diperoleh dari adanya kemajuan peradaban, namun tidak sedikit pula aspek negatif yang ada. Aspek negatif yang sangat menonjol dan sangat mudah diamati adalah adanya peningkatan kualitas tindak kejahatan yang terjadi. Pada saat ini, kejahatan bukan saja berdimensi nasional tetapi sudah transnasional. Hal tersebut ditandai bukan saja kerugian yang besar dan meluas sebagai akibatnya, namun juga modus operandi dan peralatan kejahatan yang semakin canggih.
Antisipasi atas kejahatan tersebut diantaranya adalah dengan memfungsikan instrumen hukum (pidana) secara efektif melalui penegakan hukum (law enforcement). Melalui instrumen hukum diupayakan perilaku yang melanggar hukum dapat ditanggulangi secara preventif maupun represif. Mengajukan ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif.

PERLINDUNGAN ANAK DALAM PROSES PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.
Dalam perundang-undangan perhatian terhadap anak sudah dirumuskan sejak tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 Juncto Ordonansi 1949 No. 9 yang mengatur Pembatasan Kerja Anak dan Wanita. Kemudian tahun 1926 lahir pula Stb. 1926 No. 87 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang Muda bekerja di atas kapal. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang disahkan dan mulai berlaku pada tanggal 26 Februari 1946. Dalam beberapa pasalnya seperti Pasal 45, 46 dan 47 memberikan per¬lindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya Pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, dan Pasal 297 KUHP memberikan perlindungan terhadap anak di bawah umur dengan memperberat hukuman atau mengkualifikasikan sebagai tindak pidana perbuatan-perbuatan tertentu terhadap anak. Padahal adakalanya tindakan itu bukan merupakan tindak pidana bila dilakukan terhadap orang dewasa. Dilanjutkan pada tahun 1948 lahir Undang-undang Pokok Perburuhan (Undang¬-Undang No. 12 Tahun 1948) yang melarang anak melakukan pekerjaan. Pada tanggal 23 Juli 1979 lahir pula Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dengan Peraturan Pelaksanaan PP No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak (29 Februari 1988).

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP CONTEMPT OF COURT DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PERADILAN YANG BERSIH

Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menyatakan diri sebagai negara berdasarkan atas hukum. Pernyataan tersebut dengan jelas terlihat pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi dari pernyataan tersebut mengisyaratkan adanya lembaga pengadilan. Keberadaan lembaga pengadilan tersebut menjadi penting sebagai salah satu lembaga yang menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban hukum, dan kepastian hukum. Dengan demikian, keberadaan lembaga pengadilan merupakan syarat bagi suatu negara yang menamakan diri sebagai negara hukum atau negara berdasarkan atas hukum.
Di Indonesia sejak pemerintahan Hindia Belanda sebenarnya telah ada beberapa macam lembaga pengadilan, hanya saja lembaga pengadilan itu sangat berbeda, baik susunan, sumber hukum, maupun peranannya dengan lembaga pengadilan yang ada pada saat sekarang. Pada masa Hindia Belanda antara lain dikenal adanya pengadilan Swapraja, yaitu pengadilan dalam daerah Zelbestuur (daerah-daerah yang berada di bawah pemerintahan Raja dan Sultan). Pengadilan tersebut mengemban tugas untuk menciptakan keamanan, ketenteraman, kesejahteraan pemerintahan kerajaan. Susunan pengadilan tersebut terdiri dari residen sebagai ketua pengadilan dan sultan-sultan sebagai anggota dan misi pengadilan tersebut tidak sesuai dengan pengadilan yang ada sekarang dan tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila.

Thursday, September 3, 2009

PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PELAKU TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997, ternyata tidak kemudian menjadikan laju perkembangan dan pertumbuhan korporasi menjadi terhambat. Sebaliknya, korporasi mulai menampakkan kemajuan cukup pesat, baik dalam segi kuantitas, kualitas maupun diversifikasi jenis usaha apabila dibanding tahun – tahun sebelumnya. Hampir segala sektor publik sudah mulai dimasuki oleh korporasi.
Dari perkembangan yang begitu pesat tersebut dirasakan berbagai dampak positif di banyak bidang. Baik itu dalam bidang perekonomian, teknologi sampai pada etos kerja. Namun demikian, dampak negatif pun tidak dapat dihindari. Pencemaran, eksploitasi, pengrusakan tata lingkungan, merupakan hal – hal yang sangat mungkin terjadi dalam proses – proses pemanfaatan sumber daya alam oleh korporasi.

KEPOLISIAN SEBAGAI PENGENDALI RUSUH MASSA ( REPRESIF ) DALAM KERANGKA KOMPONEN DEMOKRASI

Semenjak bergulirnya reformasi topik pembicaaran mengenai aparat penegak hukum khususnya kepolisian semakin hangat dibicarakan seiring dengan gencarnya tuntutan akan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan penegakan hukum sebagai bagian dari tuntutan reformasi. Berbicara tentang aparat penegak hukum selalu terkait dengan kepolisian sebagai aparat penegak hukum pertama yang akan menangani masalah di bidang hukum. Kepolisian dibutuhkan oleh hukum sebagai sarana untuk menjamin eksistensi atau keberadaannya didalam kehidupan nyata. Tanpa aparat penegak hukum seperti pihak kepolisian akan sulit diwujudkan hukum dalam realita sosial.
Pelanggaran terhadap undang – undang, tindakan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia ( HAM ), perlindungan terhadap masyarakat, menjaga ketertiban dan keamanan, pengendalian massa adalah sebagian dari tugas perpolisian. Penegakan hukum dalam kepolisian sebagai pengendalian massa sejak awal memang kental dengan perpolisian paramiliteristik. Dalam fungsinya ini kepolisian belum dapat bekerja dengan optimal hal ini disebabkan karena kondisi internal dari polisi sendiri maupun praktek perpolisian, hukum dan demokrasi yang belum memadai.

TINJAUAN UMUM TERHADAP UNDANG – UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DARI PERSPEKTIF POLITIK HUKUM NASIONAL DI BIDANG KEKUASAAN KEH

Pada awal bergulirnya gerakan reformasi, tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai dengan tuntutan reformasi seperti korupsi, kolusi dan nepotisme ( KKN ) dan penyalahgunaan kekuasaan, ternyata belum diikuti dengan langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam penerapan dan penegakan hukum. Terbukti masih terjadinya campur tangan kekuasaan dalam proses peradilan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Kondisi hukum yang demikian, mengakibatkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta gerakan demokrasi di Indonesia mengalami stagnasi.
Pada akhirnya sebagai reaksi dari tuntutan reformasi yang semakin kencang disuarakan oleh masyarakat, Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV / MPR / 1999 tentang Garis – Garis Besar Haluan Negara ( GBHN ) Tahun 1999 – 2004, yang memuat beberapa hal penting dalam hal arahan kebijakan di bidang hukum, diantaranya :

KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERSEKUSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Peradaban dunia pada saat ini ditandai dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir disemua sektor k...