Sunday, August 30, 2009

IMPLEMENTASI HAK MENDAHULUI PADA PENAGIHAN PAJAK

Pesatnya perkembangan sosial ekonomi, teknologi dan informasi telah mengubah berbagai aspek perilaku bisnis dan sistem perdagangan dunia menjadi lebih bebas dan global. Dinamika perubahan dan perkembangan tersebut bila dilihat dari sisi hukum ekonomi yang berkaitan dengan sektor perpajakan, menuntut adanya suatu sistem terpadu yang mampu menjawab tantangan ke depan yang secara proaktif mampu mengimbangi perubahan tersebut.
Secara umum peraturan perundang-undangan perpajakan nasional harus mampu menyelaraskan diri terhadap fenomena tersebut dan harus senantiasa siap guna mengantisipasi setiap perubahan atau perkembangan baru yang terus akan muncul. Seperti unifikasi ekonomi global, makin tipisnya batas antar negara sebagai akibat semakin kencangnya perubahan liberalisme informasi dan berbagai tatanan baru lainnya yang kini sedang dan akan terus bergerak tanpa mengenal batas ruang dan waktu.
Dalam kaitannya dengan suatu perubahan itu sendiri, bagi bangsa Indonesia sebenarnya telah lama hal tersebut disuarakan ke permukaan, jauh sebelum tumbangnya kekuasaan Orde Baru, meski sebatas retorika dan dalam tataran perpolitikan.

Dengan lahirnya reformasi, memaksa pemerintah untuk mengkaji ulang berbagai perangkat peraturan dan kebijakan yang selama kurun waktu 32 tahun diberlakukan. Gema tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) terus bergulir. Tekanan-tekanan tersebut membuat pemerintah harus bekerja keras untuk mencari formula kebijakan yang sesuai dengan harapan masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tuntutan dan kecaman yang paling keras dari masyarakat ditujukan kepada institusi pemerintah yang dianggap sebagai lahan subur terjadinya praktek KKN. Birokrasi yang lambat, bertele-tele, biaya tinggi ditambah lagi dengan kualitas pelayanan yang belum optimal menjadi tuntutan masyarakat untuk segera dilakukan reformasi. Terlebih lagi pada era globalisasi sekarang ini, maka tuntutan efisiensi dan profesionalisme bukan barang baru lagi.
Salah satu ciri utama globalisasi dan perdagangan bebas yang dihadapi oleh suatu negara dimanapun di dunia ini adalah kebebasan dan keleluasaan lalu lintas barang, jasa dan informasi antar bangsa. Kenaikan frekuensi transaksi-transaksi bisnis dan keuangan melalui pasar global/internasional mengalami peningkatan yang sangat signifikan hampir di semua negara. Hal ini secara umum akan membawa implikasi serius terhadap bidang hukum dan khususnya dalam lapangan hukum pajak. Jika hal ini tidak diantisipasi secara dini akan membawa akibat serius pada sistem perpajakan nasional secara keseluruhan.
Fungsi dan peranan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara semakin penting dan strategis, terutama pada saat kondisi ekonomi nasional sedang mengalami keterpurukan. Krisis multidimensional yang melanda Indonesia terutama dari sisi ekonomi harus segera dicari jalan keluarnya, antara lain dengan melakukan sinergi kebijakan ekonomi makro dan mikro secara menyeluruh.
Dalam menyikapi perubahan dan dinamika global pada kondisi krisis ini, maka perlu dilakukan kajian ulang mengenai perangkat aturan pajak yang belum menampung transaksi kegiatan ekonomi yang selalu berubah untuk menuju kemandirian pembiayaan negara dalam jangka panjang.
Cepat atau lambat, Negara Indonesia akan menerima gelombang arus globalisasi dan perdagangan bebas, untuk itu perlu persiapan guna dapat mengikuti kecenderungan tersebut dan mengambil peran untuk memperoleh kesempatan yang timbul dari perubahan struktur di bidang ekonomi internasional.
Di antara faktor yang menentukan keberhasilan ekonomi Indonesia dalam meraih peluang di era globalisasi adalah adanya perangkat pendukung sektor ekonomi yang baik, efektif dan efisien. Dalam hal yang berhubungan dengan perpajakan yang berlaku di kancah internasional, maka sistem perpajakan nasional harus pula mampu memuat aspek perpajakan internasional.
Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara erat sekali hubungannya dengan pembangunan, baik di sektor swasta maupun di sektor publik, hanya fungsinya saja yang berlainan.
Pajak mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulerend (mengatur). Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik dan pajak-pajak di sini merupakan suatu alat atau suatu sumber untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara yang nantinya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Fungsi regulerend (mengatur) artinya pajak digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan.
Jenis atau macam pajak yang ada di Indonesia yang mempunyai dua fungsi tersebut banyak sekali ragam namanya, tergantung dari sudut mana memandangnya.
Apabila dilihat dari / berdasarkan lembaga pemungutnya, maka pajak dapat dibagi dalam pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, misalnya pajak bumi dan bangunan, pajak penghasilan dan lain-lain. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai pemerintahan daerah.
Pajak di Indonesia, secara yuridis formal diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang untuk ketiga kalinya diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
Dalam praktek di lapangan, budaya hukum masyarakat Indonesia terhadap kesadaran pembayaran pajak masih sangat rendah atau masih sangat kurang, hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar yakni mencapai + 230 juta orang tidak sebanding dengan jumlah wajib pajak yang terdaftar di Ditjen Pajak. Hal tersebut disebabkan masih banyaknya masyarakat yang belum sadar kewajibannya untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak. Menanggapi hal demikian, Direktorat Jendral Pajak selaku jawatan yang berwenang mengelola masalah perpajakan telah mengambil berbagai tindakan, yang salah satunya adalah menetapkan pajak sebagai hutang kepada negara yang pembayarannya dapat dilakukan melalui upaya paksa. dengan cara menghitung ulang laporan pajak dari wajib pajak, melakukan penagihan dan penggunaan hak mendahului.
Penggunaan hak mendahului pada penagihan atau pemenuhan kewajiban di Indonesia tidak hanya digunakan dalam penagihan pajak saja, tetapi juga digunakan dalam beberapa ketentuan perundang-undangan, misalnya Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Hak Tanggungan, dan Undang-Undang Jaminan Fidusia.
Dengan demikian, dalam pelaksanaannya, apabila terdapat seseorang yang belum membayar pajak yang kebetulan juga memiliki hutang di bank yang mengggunakan penjaminan hak tanggungan dan jaminan fidusia, penggunaan hak mendahului di sini tentunya akan menimbulkan saling bertubrukan antara hak mendahului yang ada pada penagihan pajak, hak tanggungan dan jaminan fidusia.
Berpijak pada uraian latar belakang di atas, maka dalam kesempatan ini penulis akan melakukan analisis mengenai penerapan hak mendahului pada penagihan pajak terkait dengan hak mendahului yang ada pada Undang-Undang Perbankan, Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia melalui bentuk penulisan makalah yang berjudul “IMPLEMENTASI HAK MENDAHULUI PADA PENAGIHAN PAJAK”.


No comments:

Post a Comment

KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERSEKUSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Peradaban dunia pada saat ini ditandai dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir disemua sektor k...