Sunday, August 23, 2009

EUTHANASIA DALAM PRAKTEK KEDOKTERAN DITINJAU DARI HUKUM PIDANA

A. LATAR BELAKANG
Dengan perkembangan tekhnologi yang terjadi pada saat ini, telah menyebabkan timbulnya pergeseran nilai dari berbagai kemanusiaan. Di antara sekian banyak persoalan yang timbul dan memerlukan jawaban dari berbagai macam sudut pandang adalah masalah euthanasia. Euthanasia adalah pengakhiran hidup manusia berhubungan adanya suatu penderitaan berat yang dialaminya, dengan berbagai macam pertimbangan untuk kebaikan si penderita sendiri agar tidak terlalu lama menderita, untuk meringankan beban keluarga atau masyarakat, baik perasaan, tenaga maupun materi serta pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Euthanasia atau hak mati bagi pasien sudah lama menjadi perdebatan di negara-negara dunia, tetapi belum semua negara bersedia melegalkan, termasuk di dalamnya Indonesia. Oleh karenanya euthanasia senantiasa menjadi masalah aktual. Sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu telah mencoba membahas dan mengkaji euthanasia dari berbagai sudut pandang, namun demikian pandangan medis, sosial, agama dan yuridis masih menimbulkan rasa ketidakpuasan, dan belum dapat menjawab secara tepat dan objektif.


Hak untuk hidup adalah hak yang paling asasi bagi semua mahluk, lebih-lebih bagi manusia. Seperti yang telah disebutkan dalam pernyataan umum hak-hak manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada Pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak akan hidup, akan kemerdekaan da keamanan bagi dirinya. Berhubungan dengan pasal tersebut ada kaitannya, yakni beberapa pasal dalam UUD 1945 yang memuat hak-hak asasi manusia, yaitu seperti hak setiap warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat, berhak hidup sejahtera lahir dan batin, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, dan masih banyak ketentuan UUD 1945 yang mengatur hak-hak manusia.
Menyinggung masalah hak-hak asasi manusia, maka akan terlintas dalam pikiran kita bahwa hak untuk hidup adalah termasuk di dalamnya. Timbul suatu pertanyaan bagaimana eksistensi hak untuk hidup bila dikaitkan dengan masalah euthanasia. Dengan pengertian lain seorang dokter, umumnya tenaga kesehatan memang menghadapi yang menempatkan seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi. Misalnya saja seorang penderita kanker pada stadium yang sudah parah yang kondisinya sangat menderita, baik secara fisik, batin maupun materi. Melihat kondisi demikian ini, baik keluarga pasien maupun dokter yang merawatnya terkadang tidak tega, sehingga akhirnya sama-sama sepakat untuk mempercepat kematiannya yaitu dengan jalan memberikan obat dengan dosis yang berlebihan. Keadaan demikian inilah yang disebut dengan euthanasia.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa euthanasia hanya dapat dilakukan oleh dokter. Belum jelasnya dasar hukum euthanasia menjadikan perdebatan berbagai pihak, khususnya ditinjau dari sudut pandang hukum pidana. Yaitu mengenai pertanyaan dapat tidaknya euthanasia dipersamakan dengan tindak pidana pembunuhan. Mendasarkan hal tersebut, maka penulis ingin melakukan pengkajian terhadap masalah euthanasia ditinjau dari hukum pidana ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul “EUTHANASIA DALAM PRAKTEK KEDOKTERAN DITINJAU DARI HUKUM PIDANA”.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengertian euthanasia menurut ilmu kedokteran ?
2. Bagaimanakah pengaturan euthanasia dalam praktek kedokteran ditinjau dari hukum pidana?

C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Euthanasia Menurut Ilmu Kedokteran
Asal istilah euthanasia bermula dari bahasa Yunani, yaitu “euthanatos”. Eu berarti baik tanpa derita dan Thanatos artinya adalah mati. Ada seorang penulis Yunani bernama Suetonius dalam bukunya Vitaceasarum menjelaskan anti euthanasia seba¬gai ”mati cepat tanpa derita”.
Dari euthanasia dikenal berbagai perumusan dan dari sekian banyak perumusan tersebut penulis memilih yang di¬buat oleh Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) yang sebagai berikut:
”Euthanasia dengan sengaja tidak melakukan sesualu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.

Di dalam ilmu kedokteran, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu:
a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, buat yang beriman degan menyebut nama Tuhan;
b. Waktu hidup akan berakhir, diiringi penderitaan si pasien dengan memberikan obat penenang;
c. Mengakhiri penderitaan hidup seorang pasien dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari ketiga jenis euthanasia tersebut di atas, pada jenis ketiga atau butir c yang mirip dengan euthanasia yang dilarang dalam KUHP (Pasal 344).
Dengan demikian euthanasia dalam ilmu kedokteran dapat dibedakan dalam dua macam pengertian yaitu:
a. Euthanasia aktif; tindakan terapi yang sengaja dilakukan dengan suatu harapan untuk mempercepat kematian pasien;
b. Euthanasia pasif; perbuatan membiarkan pasien meninggal dengan cara menghentikan terapi.
Euthanasia pada saat sekarang ini mempunyai suatu motif dan pengertian yang lebih luas, akan tetapi motif euthanasia tetaplah sama yaitu pertolongan untuk mempercepat waktu tibanya meninggal dunia sebagai upaya menghindari penderitaan yang berkepanjangan yang tidak layak bagi manusia, sehingga pengertian euthanasia dipergunakan untuk maksud menolong dan tidak dapat diartikan sebagai pemusnahan hidup yang tak berguna. Oleh karena itu dorongan untuk euthanasia dapat dikenal sebagai belas kasihan dan rasa solidaritas terhadap yang sedang menghadapi kematian dengan kesukaran yang hebat.
Jadi euthanasia merupakan suatu pertolongan terhadap pasien yang sedang dalam keadaan menderita penyakit yang sangat parah pada waktu menjelang kematian sehingga euthanasia membawa suatu pertolongan dan memperingan penderitaan pasien menjelang kematian.
Dari berbagai macam pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan pengertian tentang euthanasia, yang pada prinsipnya mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya suatu tindakan yang diambil baik secara aktif yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain;
b. Perbuatan tersebut dilakukan karena terdorong oleh suatu keinginan untuk membebaskan orang lain dari penderitaan yang dialaminya, misalnya sakit yang tidak mungkin dapat disembuhkan, dimana hal ini dapat dibuktikan oleh seorang dokter;
c. Perbuatan tersebut dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan atau keluarganya yang dinyatakan dengan kesungguhan hati.

2. Pengaturan Euthanasia Dalam Praktek Kedokteran Ditinjau Dari Hukum Pidana
Di Indonesia, dilihat dari aspek hukum pidana, maka euthanasia dalam bentuk apapun adalah dilarang, yaitu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 344 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Dengan demikian, apabila terjadi seorang dokter atau tenaga kesehatan lain yang ingin membantu pelaksanaan euthanasia atas permintaan atau desakan berdasarkan rasa kemanusiaan atau perasaan kasihan yang mendalam ataupun berdasarkan prinsip-prinsip etika kedokteran, maka tindakan dokter atau tenaga medis tersebut dapat diancam dengan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Dari rumusan Pasal 344 KUHP tersebut di atas dapat dilihat unsur-unsur yang terkandung untuk dapat diancamnya seseorang dengan dakwaan melakukan euthanasia, yaitu “atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati”.
Unsur tersebut di atas pada akhirnya menjadikan sulitnya dalam hal pembuktian. Hal tersebut dikarenakan orang yang atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati tersebut harus sudah meninggal, sehingga tidak dapat dimintai keterangan atau kesaksiannya. Dengan demikian pada dasarnya Pasal 344 KUHP sangat sulit diterpkan untuk menjerat pelaku euthanasia di Indonesia, karena unsur “atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati” tersebut adalah merupakan syarat mutlak, sedangkan untuk membuktikan hal tersebut sangatlah sulit karena yang menyatakan telah meninggal dunia.


D. KESIMPULAN
1. Euthanasia dalam ilmu kedokteran dapat dibedakan dalam dua macam pengertian yaitu euthanasia aktif atau tindakan terapi yang sengaja dilakukan dengan suatu harapan untuk mempercepat kematian pasien, dan euthanasia pasif, yaitu perbuatan membiarkan pasien meninggal dengan cara menghentikan terapi.
2. Pengaturan euthanasia dalam praktek kedokteran ditinjau dari hukum pidana adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Namun penerapannya sangat sulit, karena pasal tersebut menghendaki adanya kesaksian dari yang meninggal dalam hal membuktikan adanya “atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati”.

No comments:

Post a Comment

KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERSEKUSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Peradaban dunia pada saat ini ditandai dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir disemua sektor k...