Thursday, August 27, 2009

Eksekusi Terhadap Benda Yang Berada Di Atas Tanah Yang Dibebani Hak Tanggungan

Pembangunan nasional merupakan usaha bersama antara masyarakat dan Pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang.
Dalam tahap-tahap pembangunan, peranan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan akan semakin besar. Untuk mewujudkan potensi pembiayaan pembangunan tersebut dan menjamin penyalurannya sehingga menjadi sumber pembiayaan yang riil, dana perkreditan merupakan sarana yang mutlak diperlukan dan untuk itu perlu diatur kelembagaan jaminan kredit yang mampu memberikan kepastian hukum dan perlindungan baik kepada penyedia kredit maupun penerima kredit.

Bagi kalangan bisnis, dana tersebut digunakan sebagai modal bagi perluasan kegiatan usaha. Modal tersebut bisa berasal dari kekayaan pribadi maupun dari pinjaman kepada bank atau lembaga keuangan lainnya. Dalam kegiatan lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit, adanya benda untuk jaminan pembayaran utang merupakan unsur yang sangat penting. Sebab suatu kredit yang tidak memiliki jaminan yang cukup, mengandung risiko besar bagi lembaga keuangan yang memberikan kredit. Keadaan keuangan debitor mungkin saja secara tidak terduga berada pada situasi gawat sehingga debitor tidak mampu lagi membayar utangnya. Jika hal demikian terjadi, maka jaminan yang ada harus dijual sebagai pelunasan hutang debitor.
Tanah merupakan benda jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit. Hal ini menurut Effendi Perangin disebabkan tanah pada umumnya mudah dijual, harga terus meningkat, mempunyai tanda bukti yang sah, sulit digelapkan dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditor.
Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga jaminan yang kuat dan dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), sudah disediakan lembaga jaminan yang kuat dan dapat dibebankan kepada hak atas tanah yaitu Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga hyphotek dan credietverband.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah (selanjutnya disebut UUHT) menjadi lebih jelas pengaturan mengenai Hak Tanggungan. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasannya, yaitu bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Artinya, jika debitor mengingkari janjinya, maka kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan, dengan hak mendahului dari kreditor-kreditor lain.
Hak Tanggungan pada dasarnya dibebankan pada hak atas tanah, namun kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Hukum Tanah Nasional didasarkan pada Hukum Adat yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Hal ini berarti bahwa benda-benda yang secara fisik merupakan kaesatuan dengan tanah, menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian, setiap perbuatan hukum mengenai hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Dengan kata lain, benda-benda yang melekat pada tanah seperti bangunan, rumah atau tanaman merupakan benda bukan tanah yang terpisah dari tanah. Sehingga untuk mempertahankan hak pemilik bangunan atau rumah yang berada di atas hak atas tanah tersebut harus ada bukti pemilikan yang terpisah antara bangunan atau rumah dari tanda bukti hak atas tanah.
Menurut UUHT, pengaturan tentang benda yang berkaitan dengan tanah hanya disinggung dalam dua ayat saja, yaitu Pasal 4 ayat (4) dan (5). Pasal 4 ayat (4) UUHT menyebutkan bahwa:
“Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Hak Tanggungan yang bersangkuatan”.

Berdasarkan pengertian pasal di atas, maka apabila ditafsirkan secara gramatikal, kalimat “dapat juga dibebankan” mengandung arti bahwa hak tanggungan atas tanah tersebut dapat dibebankan berikut bangunan atau juga dapat hanya hak atas tanahnya saja tanpa berikut bangunan. Artinya, apabila pemegang hak atas tanah tersebut hanya mau membebankan hak atas tanahnya saja tanpa bangunan yang berdiri di atas tanah, hal tersebut harus dimungkinkan. Jika terjadi ingkar janji dan dilakukan eksekusi, maka yang dapat dieksekusi hanya hak atas tanahnya saja dan tidak berikut bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut.
Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 4 ayat (5) UUHT, yaitu bahwa:
“Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan hak tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik”.

Dari ketentuan tersebut di atas, terlihat bahwa pembebanan hak tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat terjadi apabila pemilik hak atas tanah tersebut melakukan penandatanganan serta atas hak tanggungan yang dimohonkan oleh pemilik bangunan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa, pembebanan hak tanggungan atas bangunan, tanaman, dan hasil karya harus dibebankan berikut hak atas tanah dimana bangunan atau tanaman tersebut berdiri di atasnya. Jadi tidak dimungkinkan apabila yang dibebani itu hanya bangunannya saja, sehingga sebagai konsekuensinya apabila terjadi ingkar janji maka bangunan beserta hak atas tanah tersebut dimungkinkan untuk dieksekusi.
Eksekusi dari suatu perjanjian jaminan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada harus dilaksanakan melalui penjualan umum yang ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Faktor kesulitan antara lain terdapat pada prosedur penjualan yang harus dipenuhi oleh pihak kreditor, biaya yang tinggi dan harga penjualan yang rendah sehingga merugikan tiap-tiap pihak.
Pada hubungan utang piutang, jika debitor ingkar janji maka eksekusi dilakukan melalui gugatan perdata menurut Hukum Acara Perdata yang berlaku.

No comments:

Post a Comment

KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERSEKUSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Peradaban dunia pada saat ini ditandai dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir disemua sektor k...