Thursday, August 20, 2009

DASAR HUKUM PEMINANGAN DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT HUKUM ISLAM

A. PENDAHULUAN
Meminang atau khitbah mengandung arti permintaan, yang menurut adat adalah bentuk pernyataan dari satu pihak kepada pihak lain dengan maksud untuk mengadakan ikatan perkawinan. Peminangan atau Khitbah ini pada umumnya dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap pihak perempuan, namun ada pula yang dilakukan oleh pihak perempuan. Hanya saja cara yang terakhir tersebut tidak lazim dilakukan, oleh karena itu jarang terjadi kecuali pada sistem kekeluargaan dari pihak ibu, seperti yang terjadi di Minangkabau yang berlaku adat meminang dari pihak wanita ke pihak laki-laki.
Sebagian ulama mengatakan bahwa peminangan atau khitbah itu tidak wajib, sedangkan sebagian lagi mengatakan bahwa peminangan atau khitbah adalah wajib, sebab meminang adalah suatu tindakan kebaikan. Walaupun sebagian ulama mengatakan tidak wajib, peminangan atau khirbah bisa dikatakan hampir selalu dilakukan kecuali dalam keadaan mendesak atau dalam kasus-kasus “kecelakaan”.


Dalam hukum Islam, tidak dijelaskan tentang tata cara peminangan, hal ini memberikan peluang untuk melakukan peminangan sesuai dengan adat istiadat yang ada. Di Indonesia, terdapat bermacam-macam cara peminangan, dari yang sederhana sampai pada yang rumit.
Hukum Islam menerangkan bahwa peminangan atau khitbah merupakan suatu langkah pendahuluan dan merupakan proses yuridis yang dibenarkan, yakni memberikan jalan bagi seorang laki-laki yang akan memperistrikan seorang wanita melalui prosedur yang layak dan baik menurut pandangan agama dan masyarakat dan dilakukan secara legal serta penuh dengan suasana kekeluargaan.
Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa peminangan adalah permintaan seorang laki-laki kepada seorang isteri atau penanggungjawabnya untuk memperistrikan wanita itu.
Dari beberapa pengrtian tersebut di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa sebelum melakukan peminangan diseyogyakan agar seorang laki-laki menyelidiki terlebih dahulu mengenai keadaan wanita yang hendak dipinangnya untuk menjamin kelangsungan kehidupan rumah tangganya kelak. Adapun yang sebaiknya diselidiki terlebih dahulu pada diri wanita itu antara lain adalah budi pekerti, keadaan jasmani, status perkawinan dan lain sebagainya.
Sebagai tindakan awal sebuah perkawinan, peminangan atau khitbah mempunyai arti yang tidak dapat dikesampingkan. Perkawinan sebagai sesuatu yang agung tentu tidak dilakukan dengan sembarangan karena memerlukan kesiapan yang layak. Mendasarkan pada arti penting dari peminangan atau khitbah dalam sebuah perkawinan, penulis tertarik untuk menelaah lebih dalam mengenai peminangan, khususnya mengenai dasar hukumnya beserta akibat hukumnya ke dalam suatu bentuk penulisan makalah yang berjudul “Dasar Hukum Peminangan dan Akibat Hukumnya Menurut Hukum Islam”.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah dasar hukum peminangan beserta syarat-syarat peminangan ?
2. Bagaimanakah kriteria peminangan yang dilarang menurut Hukum Islam ?

C. PEMBAHASAN
1. Dasar Hukum dan Syarat-Syarat Peminangan
Dasar hukum peminangan adalah sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 235;
ؤلا جنا ح ءليكم فيما ءر ضتم به من خطبة ا لنساء
Artinya : Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan jalan sindiran.
Selain dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 235, dasar hukum peminangan juga tercantum dalam Hadist Riwayat Bukhori yang menyatakan ”Janganlah seorang laki-laki meminang pinangan saudaranya hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau peminang itu mengizinkannya (melakukan peminangan itu).
Hadist riwayat Abu Huroiroh juga menyatakan bahwa Rosulullah bersabda kepada seorang laki-laki yang akan mengawini seorang wanita ”Apakah engkau sudah melihatnya?” Laki-laki itu menjawab belum, lalu Rosulullah SAW bersabda ”pergilah kemudian lihatlah wanita itu”.
Pengaturan peminangan di Indonesia diatu dalam Kompilasi Hukum Islam Bab III Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 yang selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 11:
”Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dipercaya”.

Pasal 12:

(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya;
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah haram dan dilarang untuk dipinang;
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita;
(4) Putus pinangan pihak pria karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Pasal 13:

(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan;
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.

Mengenai syarat peminangan, terdapat dua macam syarat yaitu syarat mustahsiriah dan syarat lazimah.
a. Syarat Mustahsiriah
Syarat Mustahsiriah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meminang seorang wanita agar ia meneliti terlebih dahulu wanita yang akan dipinangnya itu sehingga dapat menjamin kelangsungan hidup berumah tangga kelak. Syarat ini bukan syarat yang wajib dipenuhi oleh seorang laki-laki sebelum meminang akan tetapi hanya anjuran dan kebiasaan yang baik saja, artinya tanpa terpenuhinya syarat ini peminangan tetap sah.
b. Syarat Lazimah
Syarat Lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sahnya peminangan tergantung kepada terpenuhinya syarat lazimah. Adapun yang termasuk di dalam syarat lazimah antara lain adalah sebagai berikut:
1) Wanita yang dipinang adalah wanita yang tidak berada dalam pinangan laki-laki lain atau laki-laki lain tersebut telah melepaskan pinangannya;
2) Wanita yang dipinang tersebut tidak berada dalam masa iddah, haram hukumnya meminang wanita yang berada dalam masa iddah talak roji. Kepada wanita yang berada dalam masa iddah talak roji yang lebih berhak mengawininya adalah bekas suaminya;
3) Wanita yang dipinang hendaklah wanita yang tidak ada larangan untuk dikawin.

2. Peminangan yang dilarang menurut Hukum Islam
Tidak sembarang wanita itu bisa dikawini oleh seorang laki-laki. Ada yang tidak bisa dikawini untuk selamanya, yaitu karena adanya hubungan darah, hubungan semenda maupun hubungan susuan. Ada pula yang tidak boleh dikawini untuk sementara waktu. Hal demikian ini berlaku juga dalam peminangan. Ada wanita yang boleh dipinang dan ada pula yang tidak boleh dipinang. Adapun wanita yang boleh dipinang adalah wanita yang tidak memiliki halangan menurut ketentuan syara’ untuk dapat dikawini seketika dan wanita yang haram dipinang.
Sebaliknya, peminangan dilarang dilakukan terhadap wanita yang memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Wanita yang sedang menjalani iddah talaq roji (masih ada ikatan dengan bekas suami);
b. Wanita yang sedang menjalani masa tunggu talaq bain, yaitu talak yang ketiga kalinya
Meskipun antara wanita tersebut dengan bekas suaminya sudah tidak boleh kawin lagi, kecuali si isteri telah kawin dengan laki-laki lain dan telah digauli, serta telah melakukan perceraian yang masa iddahnya telah habis, namun secara Tashrih, pinangan yang terjadi dianggap masih dapat menyinggung bekas suaminya.
c. Wanita yang sedang menjalani iddah kematian
Alasan dilarangnya meminang seorang wanita yang sedang menjalani iddah kematian adalah untuk menghormati suaminya yang baru saja meninggal dunia.
d. Wanita yang telah dipinang oleh laki-laki lain
Pada umumnya orang beranggapan bahwa wanita yang telah dipinang adalah milik si peminang. Oleh karena itu wanita yang telah dipinang oleh laki-laki lain dilarang untuk dipinang lagi, sebagaimana terlarangnya membeli barang yang telah dibeli oleh orang lain atau dalam tawaran orang lain, sampai ada kejelasan jadi atau tidak.
Dalam Bab III Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa peminangan dilarang dilakukan terhadap wanita yang ditalak suami, wanita dalam masa iddah raj’i dan wanita yang sedang dipinang orang lain selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.

D. KESIMPULAN
1. Dasar hukum peminangan adalah sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 235 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 11 sampai dengan Pasal 13. adapun syarat sahnya peminangan terdiri dari dua, yaitu syarat mustahsiriah dan syarat lazimah.
2. Kriteria peminangan yang dilarang menurut Hukum Islam adalah sebagaimana tercantum dalam Bab III Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3) Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa peminangan dilarang dilakukan terhadap wanita yang ditalak suami, wanita dalam masa iddah raj’i dan wanita yang sedang dipinang orang lain selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.

No comments:

Post a Comment

KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERSEKUSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Peradaban dunia pada saat ini ditandai dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir disemua sektor k...