Sunday, August 30, 2009

Optimalisasi Kinerja Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Sebagai Langkah Kepastian Hukum

Negara Indonesia adalah negara yang didasarkan atas hukum, tidak didasarkan atas kekuasaan belaka, hal ini mengandung pengertian bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Oleh karena itu perlu adanya pembangunan hukum yang pada hakekatnya pembangunan hukum tersebut adalah sebagai upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan ketertiban di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pembangunan nasional yang mengikutsertakan masyarakat senantiasa dapat menumbuhkan kesadaran hukum masyarakatnya, sehingga dapat mengurangi timbulnya berbagai bentuk kejahatan. Dalam suatu proses peradilan pidana guna mengungkap suatu tindak pidana yang terjadi, tidak bisa lepas dari peran serta saksi dan korban tindak pidana itu sendiri dalam memberikan kesaksian. Dalam usaha penegakan hukum pidana di tanah air acap kali terganjal oleh susahnya memperoleh alat bukti dalam proses peradilan pidana berupa keterangan saksi termasuk di dalamnya saksi dari korban tindak pidana itu sendiri. Para saksi kerap kali mengalami intimidasi, ancaman, tekanan dari pihak pelaku atau pihak tertentu yang tidak ingin kejahatannya terbongkar. Akibatnya, para saksi tidak bisa secara leluasa menyampaikan informasi yang sebenarnya tentang kejadian yang mereka dengar, lihat, dan/atau alami sendiri.

DASAR HUKUM PENYELENGGARAAN TATA GUNA TANAH BERBASIS PERTANIAN

Sebagaimana diketahui, bahwa negara Indonesia merupakan negara agraris, dan penduduknya sebagian besar hidupnya tergantung pada pertanian. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa masalah-masalah pertanahan merupakan salah satu permasalahan yang sangat penting serta peranannya demi keberhasilan pembangunan bangsa.
Permasalahan pertanahan merupakan persoalan yang terus terjadi di negara Indonesia mengingat semua aktivitas manusia tidak terlepas dari tanah. Permasalahan semakin komplek dan bahkan tidak jarang menimbulkan konflik baik secara horisontal, yaitu antar penduduk maupun secara vertikal, yaitu antara penduduk dengan aparat penegak hukum.

IMPLEMENTASI HAK MENDAHULUI PADA PENAGIHAN PAJAK

Pesatnya perkembangan sosial ekonomi, teknologi dan informasi telah mengubah berbagai aspek perilaku bisnis dan sistem perdagangan dunia menjadi lebih bebas dan global. Dinamika perubahan dan perkembangan tersebut bila dilihat dari sisi hukum ekonomi yang berkaitan dengan sektor perpajakan, menuntut adanya suatu sistem terpadu yang mampu menjawab tantangan ke depan yang secara proaktif mampu mengimbangi perubahan tersebut.
Secara umum peraturan perundang-undangan perpajakan nasional harus mampu menyelaraskan diri terhadap fenomena tersebut dan harus senantiasa siap guna mengantisipasi setiap perubahan atau perkembangan baru yang terus akan muncul. Seperti unifikasi ekonomi global, makin tipisnya batas antar negara sebagai akibat semakin kencangnya perubahan liberalisme informasi dan berbagai tatanan baru lainnya yang kini sedang dan akan terus bergerak tanpa mengenal batas ruang dan waktu.
Dalam kaitannya dengan suatu perubahan itu sendiri, bagi bangsa Indonesia sebenarnya telah lama hal tersebut disuarakan ke permukaan, jauh sebelum tumbangnya kekuasaan Orde Baru, meski sebatas retorika dan dalam tataran perpolitikan.

DAMPAK PERKEMBANGAN INDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA

Pada saat sekarang ini, negara Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Alinea ke 4, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tujuan negara tersebut, pada hakekatnya adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata, materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

Thursday, August 27, 2009

Eksekusi Terhadap Benda Yang Berada Di Atas Tanah Yang Dibebani Hak Tanggungan

Pembangunan nasional merupakan usaha bersama antara masyarakat dan Pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang.
Dalam tahap-tahap pembangunan, peranan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan akan semakin besar. Untuk mewujudkan potensi pembiayaan pembangunan tersebut dan menjamin penyalurannya sehingga menjadi sumber pembiayaan yang riil, dana perkreditan merupakan sarana yang mutlak diperlukan dan untuk itu perlu diatur kelembagaan jaminan kredit yang mampu memberikan kepastian hukum dan perlindungan baik kepada penyedia kredit maupun penerima kredit.

BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK DI KABUPATEN KUDUS BESERTA PENGAWASAN PENGGUNAANNYA

Berakhirnya rezim Orde Baru yang ditandai dengan munculnya gerakan reformasi telah membawa banyak perubahan di segala bidang kehidupan rakyat Indonesia. Secara mendasar, gerakan reformasi harus diinterprestasikan sebagai suatu upaya yang terorganisir dan sistematis dari bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi. Berdasarkan interprestasi reformasi tersebut, maka agenda nasional difokuskan pada upaya pengembangan yang terus “indeks demokrasi” (indices of democracy). Indeks demokrasi diartikan sebagai tanda atau ciri demokrasi, sehingga dengan perkataan lain dapat diartikan bahwa agenda nasional diarahkan menuju terciptanya demokrasi. Indek tersebut dikelompokkan ke dalam empat aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni Pertama, keberadaan sistem pemilihan umum yang bebas dan adil, kedua, keberadaan pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif, ketiga, pemajuan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik seluruh warga tanpa kecuali; dan keempat, keberadaan masyarakat yang memiliki rasa percaya diri yang penuh.
Di bidang politik, demokratisasi tumbuh dengan pesat. Hal tersebut ditandai dengan pertumbuhan jumlah partai politik menjelang Pemilu 2004 yang mengalami peningkatan sangat signifikan, yakni sebanyak 242 partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM dibandingkan jumlah partai politik yang terdaftar pada saat pemilu 1999 yaitu sebanyak 141 partai.


Partai politik sendiri secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama.
Kebebasan mendirikan partai politik merupakan wujud penghormatan terhadap hak-hak sipil dan politik warga negara. Sejak reformasi, syarat untuk mendirikan sebuah partai diperingan dalam arti banyak syarat-syarat yang dihapuskan sehingga untuk mendirikan sebuah partai tidak banyak syarat yang harus dipenuhi. Hal tersebut berkaitan dengan tuntutan perluasan partisipasi politik masyarakat.
Tidak ada negara demokrasi tanpa partai politik. Partai politik merupakan keniscayaan dalam kehidupan politik modern yang demokratis. Partai politik merupakan fenomena modern yang munculnya berbarengan dengan perkembangan demokrasi modern. Partai politik bukan hanya berperan sebagai saluran aspirasi politik berbagai kelompok masyarakat dan sebagai wahana untuk mengartikulasi tuntutan politik dalam sistem politik secara keseluruhan, tetapi juga berfungsi sebagai satu-satunya jenis organisasi yang berkompetensi untuk membentuk kabinet pemerintahan.
Pembentukan, pemeliharaan dan pengembangan partai politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negara untuk berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Melalui kebebasan yang bertanggung jawab, segenap warga negara memiliki hak untuk berkumpul dan berserikat guna mewujudkan cita-cita politiknya secara nyata. Kesetaraan merupakan prinsip yang memungkinkan segenap warga negara berpikir dalam kerangka kesederajadan sekalipun kedudukan, fungsi, dan peran masing-masing berbeda. Kebersamaan merupakan wahana untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara sehingga segala bentuk tantangan lebih mudah dihadapi. Partai politik dapat mengambil peran penting dalam menumbuhkan kebebasan, kesetaraan dan kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan negara yang padu.
Di dalam sistem politik demokrasi, kebebasan dan kesetaraan tersebut diimplementasikan agar dapat merefleksikan rasa kebersamaan yang menjamin terwujudnya cita-cita kemasyarakatan secara utuh. Disadari bahwa proses menuju kehidupan politik yang memberikan peran kepada partai politik sebagai aset nasional berlangsung berdasarkan prinsip perubahan dan kesinambungan yang makin lama makin menumbuhkan kedewasaan dan tanggung jawab berdemokrasi. Hal ini dapat dicapai melalui penataan kehidupan kepartaian, di samping adanya sistem dan proses pelaksanaan pemilihan umum secara memadai.
Keterkaitan antara kehidupan kepartaian yang sehat atau yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan proses penyelenggaraan pemilihan umum akan dapat menciptakan lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang lebih berkualitas. Untuk merancang keterkaitan sistematik antara sistem kepartaian dengan sistem pemilihan umum diperlukan adanya kehidupan kepartaian yang mampu menampung keberagaman.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Pemerintah yang dalam hal ini Presiden dan DPR telah mengatur masalah kepartaian ke dalam suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai partai politik, yakni dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum.
Tidak ada organisasi yang dapat berjalan dan tetap utuh tanpa adanya pendanaan, demikian pula dengan organisasi partai politik. Dalam melaksanakan kegiatannya, partai politik membutuhkan topangan dana. Terhadap pendanaan partai politik, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 telah mengaturnya dalam Pasal 17, yang menyebutkan:
(1) Keuangan partai politik bersumber dari:
a. iuran anggota;
b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan
c. bantuan dari anggaran negara.
(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa uang, barang, fasilitas, peralatan, dan/atau jasa;
(3) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di lembaga perwakilan rakyat;
(4) Tata cara penyaluran bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (4) adalah Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2005 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik. Besarnya bantuan keuangan kepada partai politik tersebut diberikan secara berjenjang, artinya besaran bantuan keuangan yang diterima oleh partai politik yang mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten/kota tidak boleh melebihi yang diterima oleh wakil partai politik yang duduk di DPRD Provinsi, dan besarnya bantuan keuangan yang diterima oleh wakil politik yang duduk di DPRD provinsi tidak boleh melebihi yang diterima oleh wakil partai politik yang duduk di DPR Pusat.
Besarnya Bantuan Keuangan kepada partai politik tingkat Pusat untuk setiap kursi ditetapkan sebesar Rp. 21.000.000,- (dua puluh satu juta rupiah) per tahun. Bantuan keuangan kepada partai politik tersebut digunakan untuk membantu kegiatan dan kelancaran administrasi partai politik setiap tahun. Bagi lingkungan Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota, pemberian bantuan tersebut dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setiap tahunnya dengan tetap memperhatikan pengelolaan keuangan daerah yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006.
Ketentuan tersebut di atas, yang menyebutkan bahwa hanya partai politik yang mendapat kursi di DPR maupun DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota saja yang mendapat bantuan keuangan. Hal ini dirasakan sebagai perwujudan rasa ketidakadilan bagi partai-partai politik yang tidak memperoleh kursi.
Selanjutnya, bantuan keuangan kepada partai politik tersebut juga telah menjadikan polemik sendiri bagi sebagian masyarakat. Ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa agar dapat menunjukkan kekuatan kepada masyarakat untuk bersedia memilihnya, partai politik bersangkutan membutuhkan dana yang memadai. Tujuannya, mampu melakukan upaya-upaya yang dapat mengembangkan alternatif kebijakan yang akan ditawarkan pada pemilu. Berlawanan dengan pendapat di atas, ada pula pihak yang berposisi bahwa bantuan keuangan sebaiknya tidak diberikan mengingat karakteristik penting partai yang demokratis justru terletak pada kenyataan bahwa mereka adalah organisasi yang bergantung pada upaya dan dukungan anggotanya.
Masalah yang tidak kalah pentingnya menyangkut bantuan keuangan bagi partai politik tersebut adalah mengenai pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan keuangan bagi partai politik tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa terhadap penggunaan dana dalam suatu organisasi, khususnya partai politik sangat dimungkinkan terjadinya penyelewengan atau penyimpangan dalam penggunaannya.

PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI BADAN KEHORMATAN DPRD KABUPATEN KUDUS DALAM RANGKA MENINGKATKAN KINERJA ANGGOTA DPRD KABUPATEN KUDUS

Pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil, dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas dan rahasia, serta dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali pada hari libur atau hari yang diliburkan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemilihan umum dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar untuk memilih Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemberian suara dalam pemilihan umum adalah hak setiap warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih. Pemilihan umum untuk memilih Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


Melalui Pemilihan umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota diperoleh wakil-wakil rakyat yang duduk di DPRD Kabupaten/kota untuk selanjutnya ikut menyelenggarakan pemerintahan daerah mendampingi dan menjadi mitra pemerintah daerah.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD, maka dapat ditarik pengertian bahwa DPRD sebagai badan legislatif daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Adapun yang dimaksud dengan sejajar dan menjadi mitra adalah bahwa DPRD dan Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan Pemerintahan Daerah yang efisien, efektif, dan transparan dalam rangka memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat demi tercapainya produktivitas dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Sebagai bentuk pelaksanaan ketentuan perundang-undangan tersebut di atas, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang antara lain mengatur mengenai tugas, wewenang, hak dan kewajiban anggota DPRD.
Mendasarkan pada peranan badan perwakilan rakyat dalam pelaksanaan pemerintahan yang sedemikian besar, maka pemerintah telah mengatur secara khusus mengenai susunan dan kedudukan badan perwakilan rakyat melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tersebut menegaskan bahwa DPRD merupakan Lembaga Pemerintahan Daerah sekaligus sebagai wahana demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Disebutkan dalam Pasal 42 ayat (1) bahwa tugas dan wewenang DPRD adalah sebagai berikut:
a. membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama;
b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD Kabupaten/Kota;
e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i. membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
j. melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;
k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
Disebutkan dalam Pasal 99 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, bahwa untuk dapat menjalankan tugas dan wewenangnya, DPRD dilengkapi dengan beberapa alat kelengkapan yang terdiri dari:
1. Pimpinan;
2. Komisi;
3. Panitia Musyawarah;
4. Panitia Anggaran;
5. Badan Kehormatan;
6. Alat kelengkapan lain yang diperlukan.
Di antara alat-alat kelengkapan DPRD sebagaimana tersebut di atas, yang menarik perhatian penulis adalah keberadaan Badan Kehormatan. Hal tersehut karena, kepada Badan Kehormatan tersebutlah kredibilitas dan citra lembaga legislatif dipertaruhkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan Badan Kehormatan DPRD adalah untuk menjaga martabat anggota DPRD dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Namun dalam praktiknya, pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Kehormatan tersebut sangat sulit diwujudkan, mengingat anggota Badan Kehormatan juga sekaligus anggota DPRD sehingga kewibawaan Badan Kehormatan kurang begitu kuat dan juga tidak dapat berfungsi secara optimal.
Demikian juga yang terjadi pada Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Kudus. Pada waktu terakhir ini, banyak diberitakan oleh media masa mengenai adanya salah seorang anggota DPRD Kabupaten Kudus yang mengabaikan teguran dan panggilan Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Kudus, hal tersebut adalah salah satu contoh kurang optimalnya Badan Kehormatan DPRD Kudus dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

AKIBAT HUKUM DAN UPAYA PENYELESAIAN ATAS AKTA PERDAMAIAN YANG TIDAK DAPAT DILAKSANAKAN

Manusia dalam memenuhi kepentingannya, pada kenyataannya melakukan hubungan satu sama lain. Dalam melakukan hubungan tersebut timbullah hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak secara timbal balik. Hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban semacam ini diatur dalam peraturan hukum. Di samping itu hukum juga melindungi kepentingan para subjek hukum, yang dimaksud dengan hubungan hukum di sini ialah hubungan yang diatur oleh hukum dan mendapat perlindungan hukum apabila terjadi pelanggaran.
Di dalam melakukan hubungan hukum mungkin timbul suatu keadaan di mana pihak yang satu memenuhi kewajibannya terhadap pihak lainnya, sehingga pihak lainnya itu merasa dirugikan. Dapat pula terjadi tanpa suatu alasan, hak seseorang dilanggar atau kepentingan seseorang diperkosa oleh orang lain. Keadaan yang demikian dapat menimbulkan sengketa hukum. Jadi sengketa hukum adalah sengketa atau perselisihan mengenai segala sesuatu yang diatur oleh hukum. Istilah sengketa hukum, oleh Mochammad Dja’is diartikan sebagai sengketa mengenai segala sesuatu yang diatur oleh hukum atau dengan kata lain sengketa hukum adalah sengketa yang menimbulkan akibat-akibat hukum.

Sunday, August 23, 2009

IMPLEMENTASI PROGRAM SAFETY RIDING DI KABUPATEN KUDUS DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGIS MASYARAKAT KABUPATEN KUDUS

A. PENDAHULUAN
Transportasi darat merupakan salah satu sektor tekhnologi yang terus mengalami perkembangan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah dan jenis kendaraan yang semakin banyak dan arus lalu lintas yang dari hari ke hari semakin padat. Inovasi dalam bidang ini berjalan terus-menerus seiring dengan kebutuhan manusia akan daya jangkau dan jelajah yang semakin besar. Akan tetapi di sisi lain, apabila tidak ditangani dengan baik tekhnologi ini dapat berubah menjadi mesin pembunuh yang sangat berbahaya.
Pernyataan di atas tidak berlebihan, menurut data yang diperoleh setidaknya di seluruh dunia setiap tahunnya korban yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas hampir mencapai angka 1 juta. Di Indonesia sendiri menurut data Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan (Ditjen Hubdar Dephub) rata-rata korban meninggal dunia dalam 1 tahun sejumlah 10.696 jiwa atau setiap harinya lebih dari 20 keluarga yang harus kehilangan anggota keluarganya. Bahkan menurut prediksi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian tertinggi pada tahun 2020 yang akan datang.


Berdasarkan data-data tersebut, upaya menekan jumlah kecelakaan lalu lintas pun terus ditingkatkan oleh pemerintah melalui instansi-instansi yang berwenang di bidang lalu lintas. Salah satunya adalah melalui gerakan kampanye nasional safety riding, yang dilaksanakan oleh Kepolisian Republik Indonesia.
Safety riding merupakan kegiatan untuk keselamatan dalam berkendara. Safety riding adalah cara berkendara yang mengutamakan keselamatan dan kenyamanan pengendara dengan bentuk yang preventif dalam menghadapi keadaan di jalan, yang secara tidak langsung juga akan mempengaruhi dan membawa keselamatan dan kenyamanan terhadap lingkungan sekitarnya.

Program safety riding saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah melalui Kepolisian Republik Indonesia dan dilakukan secara serentak diseluruh wilayah Indonesia, termasuk di dalamnya Kabupaten Kudus. Kepolisian Negara Indonesia Resor Kudus (Polres Kudus) melalui Unit Lalu Lintas pada saat ini sedang menggalakkan dan mensosialisasikan program safety riding di wilayah Kabupaten Kudus. Orientasi penerapan program safety riding tersebut adalah untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas sebagaimana telah berhasil diterapkan di wilayah hukum Polda Jawa Timur.
Namun demikian, untuk berhasil tidaknya program safety riding tersebut di Kabupaten Kudus, harus dipertimbangkan pula faktor-faktor sosiologis yang ada pada masyarakat Kabupaten Kudus sendiri, tidak bisa disama ratakan dengan kondisi masyarakat di daerah lain.
Guna mengetahui efektivitas atau tingkat keberhasilan program safety riding dalam menekan atau mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Kudus, penulis berniat melakukan penelitian dan menelaahnya ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul “IMPLEMENTASI PROGRAM SAFETY RIDING DI KABUPATEN KUDUS DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGIS MASYARAKAT KABUPATEN KUDUS”.

B. PERMASALAHAN
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah efektivitas program safety riding dalam menekan atau mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas di wilayah Kabupaten Kudus ditinjau dari aspek sosiologis masyarakat Kabupaten Kudus?
2. Kendala-kendala apa yang muncul dalam pelaksanaan program safety riding sebagai upaya mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Kudus ?

C. PEMBAHASAN
1. Efektivitas program safety riding dalam menekan atau mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas di wilayah Kabupaten Kudus ditinjau dari aspek sosiologis masyarakat Kabupaten Kudus
Kabupaten Kudus merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah propinsi Jawa Tengah, yang memiliki letak strategis dan merupakan daerah transit jalur Pantai Utara (Pantura). Kondisi tersebut tentunya menjadikan wilayah Kabupaten Kudus memiliki kepadatan lalu lintas yang cukup ramai dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain yang tidak berada pada posisi transit. Belum lagi jumlah kendaraan yang dimiliki oleh masyarakat Kabupaten Kudus yang dari tahun ke tahun memiliki kenaikan yang sangat tajam. Hal ini tentunya menuntut kerja keras Satuan Lalu Lintas Polres Kudus untuk menjaga ketertiban lalu lintas sekaligus mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas di wilayah Kabupaten Kudus. Untuk diketahui, bahwa dalam kurun waktu tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, jumlah pelanggaran dan kecelakaan yang terjadi di Kabupaten Kudus terus mengalami peningkatan. Guna memperjelas hal tersebut, berikut disampaikan tabel jumlah pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Kabupaten Kudus, kurun waktu tahun 2005 sampai dengan tahun 2007;
Tabel 1.
Jumlah Pelanggaran Dan Kecelakaan Lalu Lintas
Tahun 2005 s/d 2007
No Tahun Pelanggaran Laka Lantas MD LB LR
1 2005 11.291 114 9 34 68
2 2006 11.514 167 45 171 81
3 2007 13.557 239 104 58 184
Jumlah 36.362 520 158 263 333
Ket : MD = Meninggal Dunia
LB = Luka Berat
LR = Luka Ringan

Dari tabel tersebut di atas, dapat diketahui dengan pasti bahwa jumlah pelanggaran dan kecelakaan yang terjadi di wilayah Kabupaten Kudus mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 mengalami peningkatan yang sangat tajam. Oleh sebab itu Satuan Lalu Lintas Polres Kudus sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap ketertiban dan keamanan di bidang lalu lintas telah mencanangkan program safety riding untuk menekan jumlah pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas di wilayah Kabupaten Kudus.
Pelaksanaan progran safety riding tersebut juga didasarkan pada Surat Edaran Kapolda Jawa Tengah No. Pol. SE/03/V/2007 tentang Pelaksanaan Program Kegiatan Safety Riding, yang diterbitkan pada tanggal 22 Mei 2007.
Adapun program kegiatan Safety Riding menurut Surat Edaran Kapolda Jawa Tengah No. Pol. SE/03/V/2007 meliputi 9 (sembilan) sasaran prioritas kewajiban bagi pengendara roda 2 (dua) dan pengendara roda 4 (empat) adalah sebagai berikut :
a. Menggunakan sabuk pengaman dan helm standar bagi pengendara sepeda motor dan yang dibonceng.
b. Menggunakan kaca spion lengkap.
c. Lampu kendaraan bermotor lengkap dan berfungsi baik.
d. Sepeda motor menyalakan lampu di siang hari.
e. Patuhi batas kecepatan (dalam kota 50 km/jam, luar kota 80 km/jam, daerah pemukiman/keramaian 25 km/jam dan jalan bebas hambatan 100 km/jam).
f. Kurangi kecepatan pada saat mendekati persimpangan.
g. Sepeda motor, kendaraan berat dan kendaraan lambat menggunakan lajur kiri.
h. Patuh dan disiplin terhadap ketentuan dan tata cara berlalu lintas saat:
1) Memasuki jalan utama.
2) Mendahului.
3) Membelok/memutar arah.
4) Penggunaan lampu sign.
5) Patuhi rambu-rambu, marka jalan dan peraturan lalu lintas.
Satuan Lalu Lintas Polres Kudus yang didukung sebanyak 104 personel telah berusaha dengan keras melaksanakan program Safety Riding sesuai dengan Surat Edaran Kapolda Jawa Tengah No. Pol. SE/03/V/2007. Kegiatan tersebut dimulai pada penghujung tahun 2007 atau tepatnya pada bulan Nopember 2007. Alasan baru dilaksanakannya program Safety Riding pada bulan Nopember bukan pada saat menerima Surat Edaran Kapolda Jawa Tengah No. Pol. SE/03/V/2007, yakni bulan Mei tahun 2007 adalah karena masih harus mempersiapkan personel terlebih dahulu agar dalam pelaksanaan program Safety Riding nanti petugas dari Satuan Lalu Lintas Polres Kudus benar-benar menguasai dan mumpuni.
Pelaksanaan program Safety Riding di wilayah Kabupaten Kudus dimulai dari kegiatan sosialisasi program Safety Riding kepada masyarakat Kabupaten Kudus oleh Satuan Lalu Lintas Polres Kudus bersama perusahaan-perusahaan swasta yang ikut mendukung terselenggaranya program Safety Riding di Kabupaten Kudus. Sosialisasi tersebut dilakukan selama satu bulan penuh dengan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya masyarakat pengguna jalan raya, menyebarkan selebaran, pemasangan spanduk-spanduk, memberikan penyuluhan kepada siswa siswi di sekolah-sekolah, dan masih banyak kegiatan lain yang tujuan utamanya memberikan sosialisasi kepada masyarakat Kabupaten Kudus mengenai program Safety Riding.
Tidak semua program Safety Riding yang diamanatkan oleh Surat Edaran Kapolda Jawa Tengah No. Pol. SE/03/V/2007 dijalankan semua, tetapi dipilih dan disesuaikan dengan kondisi lalu lintas di Kabupaten Kudus. Adapun materi program Safety Riding yang disosialisasikan kepada masyarakat Kabupaten Kudus antara lain meliputi:
a. Menggunakan sabuk pengaman dan helm standar bagi pengendara sepeda motor dan yang dibonceng.
b. Menggunakan kaca spion lengkap.
c. Lampu kendaraan bermotor lengkap dan berfungsi baik.
d. Sepeda motor menyalakan lampu di siang hari.
e. Patuhi batas kecepatan (dalam kota 50 km/jam, luar kota 80 km/jam, daerah pemukiman/keramaian 25 km/jam dan jalan bebas hambatan 100 km/jam).
f. Patuh dan disiplin terhadap ketentuan dan tata cara berlalu lintas.
Pada masa sosialisasi program Safety Riding tersebut, kepada masyarakat yang melanggar hanya diberikan himbauan dan teguran tidak ditindak ataupun diberikan sanksi. Baru setelah masa sosialisasi selesai, yakni bulan kedua dari mulai dicanangkannya program Safety Riding di wilayah Kabupaten Kudus, kepada masyarakat pengguna jalan raya yang melanggar ketentuan program Safety Riding tersebut di atas dikenakan sanksi.
Efektif tidaknya suatu kebijakan di suatu daerah, termasuk di dalamnya kebijakan program safety riding di Kabupaten Kudus tidak bisa terlepas dari diterima atau tidaknya kebijakan tersebut oleh masyarakat setempat. Selain itu, dalam penegakan hukum juga banyak faktor yang mempengaruhinya, yaitu hukum itu sendiri, aparat penegak hukumnya dan masyarakatnya.
Mengenai aspek sosiologisnya atau faktor masyarakatnya, mendasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang penulis lakukan dapat diketahui bahwa masyarakat Kabupaten Kudus pada umumnya belum dapat menerima program safety riding walaupun secara umum menghendaki terciptanya tertib lalu lintas. Dalam hal ini menurut penulis adalah karena faktor budaya masyarakat yang masih menganggap aneh dan belum biasa untuk menghidupkan lampu di siang hari. Sehingga dapat dipastikan program safety riding tersebut juga belum mampu menekan terjadinya kecelakaan di Kabupaten Kudus. Hal tersebut diperkuat dari data yang diperoleh mengenai banyaknya kecelakaan lalu lintas dan jumlah pelanggaran lalu lintas yang terjadi di Kabupaten Kudus setelah diberlakukannya program safety riding atau pada tahun 2008 ini, yaitu untuk pelanggaran lalu lintas sebanyak 14.133 (naik sebanyak 576 dari tahun 2007) dan untuk kecelakaan lalu lintas berjumlah 316 (naik sebanyak 77 dari tahun 2007). Dari data jumlah pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas tersebut di atas dapat diketahui bahwa program safety riding belum mampu menekan terjadinya pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas yang terjadi di wilayah Kabupaten Kudus.

2. Kendala-kendala yang muncul dalam pelaksanaan program safety riding sebagai upaya mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Kudus
Mendasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan sub bab di atas dapat diketahui bahwa salah satu kendala yang ada dalam pelaksanaan program safety riding sebagai upaya mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Kudus adalah dari faktor masyarakatnya.
Sebagaimana telah disinggung pada sub bab terdahulu bahwa kebijakan untuk menghidupkan lampu di siang hari adalah meniru kebijakan Polwitabes Surabaya dalam rangka menekan terjadinya kecelakaan lalu lintas di Surabaya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa keberhasilan kebijakan tersebut di Surabaya belum tentu berhasil pula diterapkan pada masyarakat Kabupaten Kudus. Dari segi kemampuan ekonomi masyarakatnya saja sudah lain, Surabaya adalah kota besar yang tentunya kondisi ekonomi masyarakatnya banyak yang sudah mapan sehingga tidak banyak kendaraan yang umurnya sudah tua, sedangkan Kabupaten Kudus adalah kota kecil yang kondisi ekonomi masyarakatnya masih beragam dan masih banyak terdapat kendaraan tua.
Mengenai rendahnya kesadaran masyarakat terhadap safety riding ini menurut penulis adalah karena masyarakat masih banyak yang belum tahu makna dan arti pentingnya safety riding dalam berkendara di jalan raya.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kendala-kendala yang muncul dalam pelaksanaan program safety riding sebagai upaya mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Kudus adalah belum pahamnya masyarakat terhadap makna dan arti penting program safety riding dan belum dapat diterimanya kebijakan tersebut oleh masyarakat.

D. KESIMPULAN
1. Pelaksanaan program safety riding di Kabupaten Kudus belum mampu menekan terjadinya kecelakaan yang terjadi karena masyarakat Kabupaten Kudus pada umumnya belum dapat menerima program safety riding walaupun secara umum menghendaki terciptanya tertib lalu lintas
2. Kendala-kendala yang muncul dalam pelaksanaan program safety riding sebagai upaya mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Kudus adalah belum pahamnya masyarakat terhadap makna dan arti penting program safety riding dan belum dapat diterimanya kebijakan tersebut oleh masyarakat.



HAK TERSANGKA DALAM PENYIDIKAN

A. LATAR BELAKANG
Disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.
Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum, secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Penyelidikan dan penyidikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 11.


Dalam kenyataan yang ada, sering dijumpai penggunaan kekerasan dalam penyidikan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka. Penggunaan kekerasan dalam penyidikan pada masa sekarang ini telah menjadi sorotan sebagian masyarakat, khususnya pemerhati hukum. Polri atau dalam hal ini penyidik dianggap menggunakan kesewenang-wenangan dalam melakukan tugasnya. Akibat kekerasan yang digunakan oleh penyidik dalam mengorek keterangan dari tersangka menyebabkan terlanggarnya hak-hak tersangka sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan. Mendasarkan pada hal tersebut, penulis berkeinginan untuk melakukan penelaahan lebih jauh mengenai tugas dan wewenang penyidik, serta hak-hak tersangka dalam penyidikan ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul “Hak Tersangka Dalam Penyidikan”.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas adalah:
1. Apa sajakah tugas dan wewenang Polri dalam penyidikan?
2. Apa saja hak tersangka dalam penyidikan?

C. PEMBAHASAN
1. Tugas dan wewenang Polri dalam penyidikan
Istilah penyidikan dipakai sebagai istilah hukum pada tahun 1961, yaitu sejak dimuatnya istilah tersebut dalam Undang-Undang Pokok Kepolisian (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961). Sebelumnya dipakai istilah “pengusutan” yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “opsporing”. Yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Disebutkan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, sesuai Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas:
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan pastisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Pasal 15 ayat (1) secara umum berwenang:
a. menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. mencari keterangan dan barang bukti;
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat ijin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Selanjutnya menurut Pasal 15 ayat (2), Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan perundang-undangan lainnya berwenang:
a. memberikan ijin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c. memberikan surat ijin mengemudi kendaraan bermotor;
d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. memberikan ijin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
f. memberikan ijin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;
g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;
k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Di bidang proses pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dalam melakukan usaha-usaha untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut untuk membuat terang perkara, berdasarkan Pasal 7 huruf b KUHAP, penyidik mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian atau dengan istilah lain melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara.
Pemeriksaan di tempat kejadian sering dilakukan terutama pada delik tertangkap tangan. Terdapat pengecualian dalam memasuki tempat dalam hal tertangkap tangan seperti diperbolehkan memasuki tempat seperti ruangan MPR, DPR, DPRD dimana sedang berlangsung sidang.
Pemeriksaan di tempat kejadian pada umumnya dilakukan pada delik yang mengakibatkan kematian, kejahatan seksual, pencurian, dan perampokan. Dalam hal terjadinya kematian dan kejahatan seksual, sering dipanggil dokter untuk mengadakan pemeriksaan di tempat kejadian sebagaimana diatur dalam Pasal 7 KUHAP huruf h, yang menyatakan bahwa penyidik berwenang mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

2. Hak-hak tersangka dalam penyidikan

Dalam KUHAP, sebenarnya telah tercantum hak-hak tersangka dalam penyidikan yang dapat dikatakan sudah memadai. Rumusan pasal-pasal yang mengatur hak-hak tersebut antara lain adalah Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP, yaitu sebagai berikut:
a. Hak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik, diajukan ke penuntut umum, segera dimajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan;
b. Hak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang dipersangkakan serta didakwakan kepadanya;
c. Hak memnerikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan;
d. Hak untuk mendapat bantuan juru bahasa atau penerjemah bagi terdakwa atau saksi yang bisu atau tuli;
e. Hak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan;
f. Hak memilih sendiri penasehat hukumnya;
g. Hak mendapat bantuan hukum cuma-cuma bagi yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih;
h. Hak menghubungi penasehat hukumnya dan bagi yang berkebangsaan asing berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya;
i. Hak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatannya;
j. Hak diberitahukan tentang penahanannya kepada keluarga atau orang lain yang serumah atau orang lain yang bantuannya dibutuhkan;
k. Hak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya;
l. Hak menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau kekeluargaan;
m. Hak mengirim surat atau menerima surat dari/ke penasehat hukumnya atau keluarganya dengan tidak diperiksa kecuali terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat tersebut disalahgunakan;
n. Hak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan;
o. Hak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum;
p. Hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabulitasi.

H. KESIMPULAN
1. Tugas dan wewenang Polri dalam penyidikan adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 sampai dengan 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dan Pasal 17 KUHAP.
2. Hak-hak tersangka dalam penyidikan antara lain adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP.

EUTHANASIA DALAM PRAKTEK KEDOKTERAN DITINJAU DARI HUKUM PIDANA

A. LATAR BELAKANG
Dengan perkembangan tekhnologi yang terjadi pada saat ini, telah menyebabkan timbulnya pergeseran nilai dari berbagai kemanusiaan. Di antara sekian banyak persoalan yang timbul dan memerlukan jawaban dari berbagai macam sudut pandang adalah masalah euthanasia. Euthanasia adalah pengakhiran hidup manusia berhubungan adanya suatu penderitaan berat yang dialaminya, dengan berbagai macam pertimbangan untuk kebaikan si penderita sendiri agar tidak terlalu lama menderita, untuk meringankan beban keluarga atau masyarakat, baik perasaan, tenaga maupun materi serta pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Euthanasia atau hak mati bagi pasien sudah lama menjadi perdebatan di negara-negara dunia, tetapi belum semua negara bersedia melegalkan, termasuk di dalamnya Indonesia. Oleh karenanya euthanasia senantiasa menjadi masalah aktual. Sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu telah mencoba membahas dan mengkaji euthanasia dari berbagai sudut pandang, namun demikian pandangan medis, sosial, agama dan yuridis masih menimbulkan rasa ketidakpuasan, dan belum dapat menjawab secara tepat dan objektif.


Hak untuk hidup adalah hak yang paling asasi bagi semua mahluk, lebih-lebih bagi manusia. Seperti yang telah disebutkan dalam pernyataan umum hak-hak manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada Pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak akan hidup, akan kemerdekaan da keamanan bagi dirinya. Berhubungan dengan pasal tersebut ada kaitannya, yakni beberapa pasal dalam UUD 1945 yang memuat hak-hak asasi manusia, yaitu seperti hak setiap warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat, berhak hidup sejahtera lahir dan batin, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, dan masih banyak ketentuan UUD 1945 yang mengatur hak-hak manusia.
Menyinggung masalah hak-hak asasi manusia, maka akan terlintas dalam pikiran kita bahwa hak untuk hidup adalah termasuk di dalamnya. Timbul suatu pertanyaan bagaimana eksistensi hak untuk hidup bila dikaitkan dengan masalah euthanasia. Dengan pengertian lain seorang dokter, umumnya tenaga kesehatan memang menghadapi yang menempatkan seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi. Misalnya saja seorang penderita kanker pada stadium yang sudah parah yang kondisinya sangat menderita, baik secara fisik, batin maupun materi. Melihat kondisi demikian ini, baik keluarga pasien maupun dokter yang merawatnya terkadang tidak tega, sehingga akhirnya sama-sama sepakat untuk mempercepat kematiannya yaitu dengan jalan memberikan obat dengan dosis yang berlebihan. Keadaan demikian inilah yang disebut dengan euthanasia.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa euthanasia hanya dapat dilakukan oleh dokter. Belum jelasnya dasar hukum euthanasia menjadikan perdebatan berbagai pihak, khususnya ditinjau dari sudut pandang hukum pidana. Yaitu mengenai pertanyaan dapat tidaknya euthanasia dipersamakan dengan tindak pidana pembunuhan. Mendasarkan hal tersebut, maka penulis ingin melakukan pengkajian terhadap masalah euthanasia ditinjau dari hukum pidana ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul “EUTHANASIA DALAM PRAKTEK KEDOKTERAN DITINJAU DARI HUKUM PIDANA”.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengertian euthanasia menurut ilmu kedokteran ?
2. Bagaimanakah pengaturan euthanasia dalam praktek kedokteran ditinjau dari hukum pidana?

C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Euthanasia Menurut Ilmu Kedokteran
Asal istilah euthanasia bermula dari bahasa Yunani, yaitu “euthanatos”. Eu berarti baik tanpa derita dan Thanatos artinya adalah mati. Ada seorang penulis Yunani bernama Suetonius dalam bukunya Vitaceasarum menjelaskan anti euthanasia seba¬gai ”mati cepat tanpa derita”.
Dari euthanasia dikenal berbagai perumusan dan dari sekian banyak perumusan tersebut penulis memilih yang di¬buat oleh Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) yang sebagai berikut:
”Euthanasia dengan sengaja tidak melakukan sesualu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.

Di dalam ilmu kedokteran, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu:
a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, buat yang beriman degan menyebut nama Tuhan;
b. Waktu hidup akan berakhir, diiringi penderitaan si pasien dengan memberikan obat penenang;
c. Mengakhiri penderitaan hidup seorang pasien dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari ketiga jenis euthanasia tersebut di atas, pada jenis ketiga atau butir c yang mirip dengan euthanasia yang dilarang dalam KUHP (Pasal 344).
Dengan demikian euthanasia dalam ilmu kedokteran dapat dibedakan dalam dua macam pengertian yaitu:
a. Euthanasia aktif; tindakan terapi yang sengaja dilakukan dengan suatu harapan untuk mempercepat kematian pasien;
b. Euthanasia pasif; perbuatan membiarkan pasien meninggal dengan cara menghentikan terapi.
Euthanasia pada saat sekarang ini mempunyai suatu motif dan pengertian yang lebih luas, akan tetapi motif euthanasia tetaplah sama yaitu pertolongan untuk mempercepat waktu tibanya meninggal dunia sebagai upaya menghindari penderitaan yang berkepanjangan yang tidak layak bagi manusia, sehingga pengertian euthanasia dipergunakan untuk maksud menolong dan tidak dapat diartikan sebagai pemusnahan hidup yang tak berguna. Oleh karena itu dorongan untuk euthanasia dapat dikenal sebagai belas kasihan dan rasa solidaritas terhadap yang sedang menghadapi kematian dengan kesukaran yang hebat.
Jadi euthanasia merupakan suatu pertolongan terhadap pasien yang sedang dalam keadaan menderita penyakit yang sangat parah pada waktu menjelang kematian sehingga euthanasia membawa suatu pertolongan dan memperingan penderitaan pasien menjelang kematian.
Dari berbagai macam pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan pengertian tentang euthanasia, yang pada prinsipnya mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya suatu tindakan yang diambil baik secara aktif yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain;
b. Perbuatan tersebut dilakukan karena terdorong oleh suatu keinginan untuk membebaskan orang lain dari penderitaan yang dialaminya, misalnya sakit yang tidak mungkin dapat disembuhkan, dimana hal ini dapat dibuktikan oleh seorang dokter;
c. Perbuatan tersebut dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan atau keluarganya yang dinyatakan dengan kesungguhan hati.

2. Pengaturan Euthanasia Dalam Praktek Kedokteran Ditinjau Dari Hukum Pidana
Di Indonesia, dilihat dari aspek hukum pidana, maka euthanasia dalam bentuk apapun adalah dilarang, yaitu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 344 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Dengan demikian, apabila terjadi seorang dokter atau tenaga kesehatan lain yang ingin membantu pelaksanaan euthanasia atas permintaan atau desakan berdasarkan rasa kemanusiaan atau perasaan kasihan yang mendalam ataupun berdasarkan prinsip-prinsip etika kedokteran, maka tindakan dokter atau tenaga medis tersebut dapat diancam dengan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Dari rumusan Pasal 344 KUHP tersebut di atas dapat dilihat unsur-unsur yang terkandung untuk dapat diancamnya seseorang dengan dakwaan melakukan euthanasia, yaitu “atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati”.
Unsur tersebut di atas pada akhirnya menjadikan sulitnya dalam hal pembuktian. Hal tersebut dikarenakan orang yang atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati tersebut harus sudah meninggal, sehingga tidak dapat dimintai keterangan atau kesaksiannya. Dengan demikian pada dasarnya Pasal 344 KUHP sangat sulit diterpkan untuk menjerat pelaku euthanasia di Indonesia, karena unsur “atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati” tersebut adalah merupakan syarat mutlak, sedangkan untuk membuktikan hal tersebut sangatlah sulit karena yang menyatakan telah meninggal dunia.


D. KESIMPULAN
1. Euthanasia dalam ilmu kedokteran dapat dibedakan dalam dua macam pengertian yaitu euthanasia aktif atau tindakan terapi yang sengaja dilakukan dengan suatu harapan untuk mempercepat kematian pasien, dan euthanasia pasif, yaitu perbuatan membiarkan pasien meninggal dengan cara menghentikan terapi.
2. Pengaturan euthanasia dalam praktek kedokteran ditinjau dari hukum pidana adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Namun penerapannya sangat sulit, karena pasal tersebut menghendaki adanya kesaksian dari yang meninggal dalam hal membuktikan adanya “atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati”.

Saturday, August 22, 2009

FUNGSI LEMBAGA EKSEKUTIF SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945

A. PENDAHULUAN
Menurut etimologi dan pertumbuhan istilah negara, istilah negara diterjemahkan dari kata-kata asing ”staat” (Bahasa Belanda dan Jerman); ”state” (bahasa Inggris); ”Etat” (bahasa Perancis). (Trianto dan Titik Triwulan Tutik, 2007:117).
Pengertian negara dapat dibedakan dalam dua aspek, yaitu negara dalam arti formil dan negara dalam arti materiil. Maksud pengertian negara dalam arti formil adalah pengertian negara ditinjau dari aspek kekuasaan, negara sebagai organisasi kekuasaan dengan suatu pemerintahan pusat. Pemerintah menjelmakan aspek formil dari negara. Karakteristik dari negara formil adalah adanya wewenang pemerintah untuk menjalankan paksaan fisik secara legal. Negara dalam arti formil adalah negara sebagai pemerintah. Sedangkan negara dalam pengertian materiil adalah negara sebagai masyarakat, negara sebagai persekutuan hidup (Abu Bakar Busro dan Abu Daud Busrah, 1984:18).
Negara merupakan suatu organisasi dalam masyarakat yang telah mempunyai syarat-syarat tertentu. Dengan kata lain, suatu organisasi masyarakat baru dapat disebut negara apabila organisasi itu telah memenuhi semua unsur yang harus ada dalam suatu negara.


Menurut Konvensi Mountevideo, negara harus memiliki 4 (empat) unsur konstitutif, yaitu:
1. Memiliki rakyat;
2. Memiliki wilayah;
3. Memiliki pemerintahan yang berdaulat; dan
4. Memiliki kesanggupan untuk berhubungan dengan negara-negara lain. (Abu Bakar Busro dan Abu Daud Busrah, 1984:19).
Dari syarat-syarat atau unsur-unsur negara tersebut di atas, terlihat bahwa pemerintahan yang berdaulat merukapan salah satu unsur penting yang harus dipenuhi untuk berdirinya suatu negara.
Pemerintahan adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan. Oleh karenanya pemerintah sering menjadi personifikasi sebuah negara.
Pemerintahan menegakkan hukum dan memberantas kekacauan, mengadakan perdamaian dan menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang bertentangan. Pemerintah yang menetapkan, menyatakan dan menjalankan kemauan-kemauan individu-individu yang tergabung dalam organisasi politik yang disebut negara. Pemerintah adalah badan yang mengatur urusan sehari-hari, yang menjalankan kepentingan bersama. Pemerintah melaksanakan tujuan negara, menjalankan fungsi-fungsi kesejahteraan bersama.
Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana tersebut di atas, pemerintah membagi kekuasaan kepada beberapa organ, dengan maksud bahwa satu organ itu hanya memegang satu kekuasaan saja, yaitu:
1. Kekuasaan perundang-undangan diserahkan kepada lembaga legislatif;
2. Kekuasaan pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada lembaga eksekutif;
3. Kekuasaan pengawasan diserahkan kepada lembaga yudikatif.
Dari ketiga organ tersebut di atas, yang paling menarik penulis adalah mengenai eksekutif. Hal tersebut antara lain disebabkan bahwa apabila mendasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945, yakni pada Bab III Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 terlihat bahwa Presiden selaku lembaga eksekutif negara memiliki kekuasaan yang sangat luas. Namun setelah diadakannya perubahan terhadap UUD 1945, fungsi dan kewenangan lembaga eksekutif menjadi terbatas.
Bertolak dari uraian di atas, maka dalam kesempatan ini penulis ingin menelaah dan mengkaji mengenai perbedaan fungsi eksekutif sebelum dan sesudah dilakukannya perubahan UUD 1945 ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul ”FUNGSI LEMBAGA EKSEKUTIF SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945”.

B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, permasalahan yang dibahas hanya dibatasi mengenai perbedaan fungsi lembaga eksekutif antara sebelum dengan sesudah terjadinya perubahan UUD 1945 yang di dalamnya akan diuraikan masing-masing fungsi lembaga eksekutif sesuai dengan UUD 1945, baik sebelum maupun setelah perubahan.

C. PEMBAHASAN
Pemerintahan Indonesia adalah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Di Indonesia, lembaga pemegang kekuasaan dibagi dalam beberapa lembaga tinggi negara, yaitu lembaga eksekutif (Presiden), lembaga legislatif (DPR RI), lembaga yudikatif (MA), lembaga inspektif (BPK), dan lembaga konsultatif (MPR).
Masing-masing lembaga tersebut di atas tidak dipisahkan secara tegas kekuasaannya yang akan menimbulkan checking power with power sebagaimana di negara-negara liberal yang menganut demokrasi bebas, tetapi hanya dengan melaksanakan pembagian kekuasaan, hal mana masing-masing pemegang kekuasaan tetap ada keterkaitan dan koordinasi, seperti kewenangan presiden di bidang legislatif (pembuatan peraturan pemerintah) dan bidang yudikatif (pemberian amnesti, grasi, dan abolisi).
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 4 ayat (1)), sehingga kekuasaan dan tanggung jawab pemerintahan berada di tangan Presiden.
Secara substantif, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 banyak sekali mengandung kelemahan. Hal itu dapat diketahui antara lain, kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip checks and balances yang memadai. Sehingga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 biasa disebut executive heavy, dan hal itu menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan presiden.
Terjadinya Remormasi pada Mei 1998 telah membawa berbagai perubahan mendasar dalam kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia. Pertama, sejak jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto, tidak terdapat lagi pemimpin sentral yang menentukan. Munculnya pusat-pusat kekuasaan baru di luar negara telah menggeser kedudukan seorang Presiden RI dari penguasa yang hegemonik dan monopolistik menjadi kepala pemerintahan biasa, yang sewaktu-waktu dapat digugat bahkan diturunkan dari kekuasaannya. Kedua, munculnya kehidupan politik yang lebih liberal, yang melahirkan proses politik yang juga liberal. Ketiga, reformasi politik juga telah mempercepat pencerahan politik rakyat. Semangat keterbukaan yang ada pada reformasi telah memperlihatkan kepada publik betapa tingginya tingkat penyelewengan dari proses penyelenggaraan negara. Keempat, pada tataran lembaga tinggi negara, kesadaran untuk memperkuat proses checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan telah berkembang sedemikian rupa. Kelima, reformasi politik telah mempertebal keinginan sebagian elite berpengaruh dan publik politik Indonesia untuk secara sistematik dan damai melakukan perubahan mendasar dalam konstitusi RI.
Prinsip kedaulatan yang berasal dari rakyat, selama ini diwujudkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat, pelaku kedaulatan rakyat dan sebagai lembaga tertinggi negera dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Selanjutnya dari MPR ini, kekuasaan rakyat tersebut seolah-olah dibagi-bagikan secara vertikal kepada lembaga-lembaga tinggi negara yang berada di bawahnya. Oleh karena itu prinsip yang dianut disebut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power). Setelah dilakukan perubahan terhadap kelembagaan dan kewenangan MPR sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi:
(1) Majelis Pemusyawaratan Rakyat berwenang mengubah Undang-Undang Dasar;
(2) Majelis Pemusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
(3) Majelis Pemusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.



Majelis Pemusyawaratan Rakyat tidak lagi menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara, baik yang berbentuk GBHN maupun peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yang menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Dengan ketentuan baru tersebut, secara teoritis berarti terjadi perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu sistem yang vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi horisontal fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antar lembaga negara (checks and balances).
Demikian pula dengan perubahan yang berkaitan dengan kekuasaan Presiden dan DPR, perubahan pertama UUD 1945 terhadap Pasal 5 dan Pasal 20 dipandang sebagai permulaan terjadinya pergeseran executive heavy ke arah legislatif heavy. Hal tersebut terlihat dari pergeseran kekuasaan Presiden dalam membentuk undang-undang yang diatur dalam Pasal 5, berubah menjadi Presiden berhak mengjukan rancangan undang-undang, dan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20). Perubahan pasal-pasal tersebut memindahkan titik berat kekuasaan legislatif nasional yang semula berada di tangan Presiden beralih ke tangan DPR.
Dengan pergeseran kewenangan membentuk undang-undang ini maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori pembagian kekuasaan dengan prinsip supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan dengan prinsip checks and balances sebagai ciri pelekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkut sistem presidensiil.
Aspek perimbangan kekuasaan mengenai hubungan Presiden dan DPR, Presiden dan MA tampak dalam perubahan Pasal 13 dan 14. Perubahan terhadap pasal-pasal tersebut dapat dikatakan sebagai pengurangan atas kekuasaan Presiden yang selama ini dipandang sebagai hak prerogatif. Perubahan Pasal 13 berbunyi:
(1) Dalam hal mengangkat Duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR;
(2) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

Sebelum ada perubahan, Presiden sebagai kepala negara mempunyai wewenang untuk menentukan sendiri duta dan konsul serta menerima duta negara lain. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka Presiden dalam mengangkat dan menerima duta besar sebaiknya diberikan pertimbangan oleh DPR.
Perubahan Pasal 14 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi sebagai berikut:
(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung;
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perawakilan Rakyat.

Alasan perlunya Presiden memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam pemberian grasi dan rehabilitasi adalah : pertama, grasi dan rehabilitasi merupakan proses yustisial dan biasanya diberikan kepada orang yang sudah mengalami proses, sedang amnesti dan abolisi ini lebih bersifat proses politik, kedua, grasi dan rahabilitasi lebih banyak bersifat perorangan, sedangkan amnesti dan abolisi biasanya bersifat massal. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi adalah lembaga negara yang paling tepat dalam memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai hal itu, karena grasi menyangkut putusan hakim, sdangkan rehabilitasi tidak selalu terkait dengan putusan hakim.
Sementara itu, DPR memberikan pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasari pada pertimbangan politik.
Melalui perubahan UUD 1945, Presiden diberikan kewenangan untuk membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dengan undang-undang. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan negara. Dengan demikian, perubahan UUD 1945 tetap memberikan kekuasaan eksekutif kepada Presiden dengan membatasi kewenangannya.

D. KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum diadakan perubahan terhadap UUD 1945 kekuasaan dan fungsi eksekutif sangat tidak terbatas, sehingga tidak terdapat checks and balances dalam sistem ketatanegaraan. Setelah diadakan perubahan terhadap UUD 1945, kekuasaan eksekutif tetap berada di tangan Presiden dengan disertai pembatasan kewenangan dan fungsinya, demi tercapainya fungsi checks and balances.

EFEKTIFITAS PENATAAN LUAS PENGUASAAN TANAH PERTANIAN MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di segala bidang selama ini dirasakan telah menampakkan hasil, terutama pada masa sebelum dan menjelang era reformasi, tetapi di sisi lain juga melahirkan persoalan-persoalan baru yang semakin rumit, sehingga timbul konsekuensi terjadinya perubahan yang besar dalam masyarakat.
Kompleksitas pembangunan tersebut di antaranya pertumbuhan dan perkembangan sarana dan prasarana daerah, terutama semenjak dihembuskannya konsep otonomi daerah. Kebutuhan akan sarana dan prasarana tersebut di antaranya adalah perumahan, perkantoran, perdagangan, industri, pelayanan jasa, pariwisata dan lain sebagainya.
Pesatnya serta keragaman pembangunan yang terjadi, ternyata dihadapkan pada persoalan-persoalan seperti yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan:
a. Terbatasnya lahan yang tersedia dengan berbagai fungsi peruntukan;
b. Pemanfaatan dan pengelolaan lahan serta pola tata ruang yang belum sepenuhnya dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh;
c. Penggunaan lahan seringkali terjadi penyimpangan dari peruntukannya;
d. Persaingan mendapatkan lokasi lahan yang telah didukung atau yang berdekatan dengan berbagai fasilitas perkotaan, sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan kota;
e. Masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap kepatutan atas kewajiban sebagai warga negara.


Berdasarkan uraian tersebut di atas, aspek penggunaan tanah dan tata ruang sangat perlu dan mutlak dipertimbangkan, karena tanah merupakan salah satu sumber daya kegiatan penduduk yang dapat dinilai sifat, keadaan, proses dan penggunaannya. Sehubungan dengan hal tersebut, Asep Warlan Yusuf menggolongkan tanah ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Nilai keuntungan, yang berhubungan dengan nilai ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual beli tanah;
b. Nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat;
Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan.
Sebagaimana diketahui, bahwa negara Indonesia merupakan negara agraris, dan penduduknya sebagian besar hidupnya tergantung pada pertanian. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa masalah-masalah pertanahan merupakan salah satu permasalahan yang sangat penting serta peranannya demi keberhasilan pembangunan bangsa.
Permasalahan pertanahan merupakan persoalan yang terus terjadi di negara Indonesia mengingat semua aktivitas manusia tidak terlepas dari tanah. Permasalahan semakin komplek dan bahkan tidak jarang menimbulkan konflik baik secara horisontal, yaitu antar penduduk maupun secara vertikal, yaitu antara penduduk dengan aparat penegak hukum.
Guna mengatasi hal-hal tersebut di atas, pemerintah telah mengatur mengenai pertanahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Secara filosofis, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-¬pokok Agraria di Indonesia tidak terlepas dari adanya keinginan pemerintah untuk melakukan penataan terhadap penggunaan dan penguasaan tanah di bumi Indonesia. Untuk melakukan penataan tersebut, telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yaitu sebagai berikut:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasa19 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan (2), Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: (a) untuk keperluan negara; (b) untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; (c) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; (d) untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan perikanan serta sejalan dengan itu; (e) untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan”.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria tersebut di atas, juga menatur pembatasan penguasaan tanah pertanian yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17, yang menyatakan sbagai berikut:
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh suatu kel;uarga atau badan hukum;
(2) Penetapan batas maksimum dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundang-undangan dalam waktu yang singkat;
(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil alih oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah;
(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan dilaksanakan secara berangsur.

Apabila mendasarkan ketentuan tersebut, maka terlihat bahwa penguasaan pemilikan tanah pertanian dibatasi oleh pemerintah dengan tujuan agar tidak terjadi penumpukan tanah pertanian pada seseorang, sebab kalau terjadi penumpukan luas tanah pertanian pada seseorang akan menimbulkan kerugian bagi para petani yang menjadikan sawah sebagai alat produksi dan sekaligus mata pencaharian. Dasar pertimbangan inilah yang mendasari pemerintah mencantumkan ketentuan ini dalam salah satu pasal pada UUPA.
Seiring perkembangan jaman, yakni dengan semakin menyempitnya lahan pertanian, menjadikan penulis tertarik untuk melakukan penelaahan mengenai efektifitas pembatasan pemilikan atau penguasaan tanah pertania tersebut ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul “EFEKTIFITAS PENATAAN LUAS PENGUASAAN TANAH PERTANIAN MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”.

B. PERUMUSAN MASALAH
Mendasarkan pada latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini adalah “Bagaimanakah efektifitas pengaturan penataan luas penguasaan tanah pertanian pada saat ini?”

C. PEMBAHASAN
Sejalan dengan ketentuan Pasal 17 UUPA tersebut di atas, Boedi Harsono menyatakan bahwa dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam produksi pertanian diharapkan akan lebih merata dan dengan demikian pembagian hasilnya akan lebih merata pula. Tindakan itu diharapkan akan menjadikan pendorong ke arah kenaikan produksi pertanian, karena akan menambah kegairahan bekerja bagi para petani penggarap tanah yang bersangkutan yang telah menjadi pemiliknya.
Mengacu pada ketentuan Pasal 17 UUPA, pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksananya berupa Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-undang tersebut sekaligus merupakan induk pelaksanaan landreform di Indonesia. Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 secara umum mengatur 3 (tiga) persoalan pokok, yaitu penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian; penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil; serta pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
Penetapan luas tanah pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Prp 56 Tahun 1960 dinyatakan sebagai berikut:
(1) Seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain, ataupun miliknya sendiri bersama milik orang lain, jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum sebagaimana ditetapkan dalam ayat (2) pasal ini;
(2) Dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan faktor-faktor lainnya, luas maksimum yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan sebagai berikut:
Di daerah-daerah yang berupa sawah atau tanah kering:
(ha) (ha)
1. tidak padat 15 20
2. padat
a. kurang padat 10 12
b. cukup padat 7,5 -
c. sangat padat 5 6

Berkaitan dengan ketentuan penetapan luas tanah pertanian di atas, maka dalam menentukan mengenai pembagiannya, lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 bahwa luas maksimum ditetapkan untuk tiap-tiap daerah tingkat II dengan memperhatikan keadaan daerah masing-masing dan faktor-faktor:
a. tersedianya tanah yang masih dapat dibagi;
b. kepadatan penduduk;
c. jenis-jenis dan kesuburan tanahnya;
d. besarnya usaha tani yang sebaik-baiknya menurut kemampuan satu keluarga dengan mengerjakan berapa buruh tani;
e. tingkat kemajuan teknik pertanian sekarang ini.
Selanjutnya bagi yang memiliki tanah di atas batas yang telah ditentukan tersebut, maka menurut ayat (3) Pasal 17 UUPA, diambil alih oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah. Pengambil alihan kepemilikan atas kelebihan tanah tersebut dikenal dengan istilah Redistribusi Tanah.
Landasan pengambilalihan kelebihan pemilikan tanah tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Selain itu redistribusi tanah juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964.
Disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yaitu bahwa kepada bekas pemilik tanah yang berdasarkan Pasal 1 peraturan pemerintah ini diambil oleh pemerintah untuk dibagi-bagikan kepada yang berhak atau dipergunakan oleh pemerintah sendiri, diberikan ganti kerugian yang besarnya ditetapkan oleh panitia landreform daerah tingkat II yang bersangkutan, atas dasar perhitungan perkalian hasil bersih rata-rata selama 5 tahun terakhir yang ditetapkan tiap hektarnya menurut golongan kelas tanahnya.
Menyimak ketentuan penetapan luas tanah pertanian tersebut di atas, apabila diterapkan pada saat ini menurut penulis adalah sudah tidak bisa efektif lagi. Hal ini dikarenakan kepadatan penduduk yang terjadi pada saat ini tidak memungkinkan seseorang untuk memiliki tanah seluas yang ditentukan oleh undnag-undang, apalagi di pulau Jawa yang kepadatan penduduknya sangat tinggi. Selain itu, jumlah petani yang ada juga mengalami penurunan yang sangat tajam. Kemauan teknologi dan pendidikan telah merubah pandangan masyarakat desa pada khususnya untuk lebih memilih berusaha di luar bidang pertanian.
D. KESIMPULAN
Mendasarkan pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengaturan tentang pembatasan penguasaan tanah pertanian sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UUPA dan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 adalah sudah tidak efektif lagi. Hal ini dikarenakan meningkatnya kepadatan penduduk dan menurunnya jumlah petani yang disebabkan perubahan pandangan masyarakat desa pada khususnya untuk lebih memilih berusaha di luar bidang pertanian.

ARBITRASE SEBAGAI UPAYA ALTERNATIF PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan (Machtsstaat), demikian ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945.
Hal tersebut mengandung arti bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum. Sebagai suatu negara hukum, menghendaki agar segala kekuasaan dan wewenang harus selalu dilaksanakan berdasarkan hukum dengan tidak pandang bulu, tidak membedakan golongan, suku, keturunan, agama, dan status sosial. Hukum harus ditegakkan dan selalu dihormati serta ditaati, tanpa pengecualian apakah warga masyarakat ataupun penguasa negara, dalam hal mana segala perbuatan atau tindakannya harus didasarkan pada hukum.

Thursday, August 20, 2009

ZAKAT DAN PENGATURANNYA MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA

A. Latar Belakang
Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah Syahadat dan Sholat, sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum muslimin.Bila saat ini kaum muslimin sudah sangat faham tentang kewajiban sholat dan manfaatnya dalam membentuk kesholehan pribadi.Namun tidak demikian pemahamaannya terhadap kewajiban terhadap zakat yang berfungsi untuk membentuk keshalehan sosial. Implikasi keshalehan sosial ini sangat luas, kalau saja kaum muslimin memahami tentang hal tersebut.
Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang. baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat.


Pemahaman sholat sudah merata dikalangan kaum muslimin ,namun belum demikian terhadap zakat. Dalam sejarah perjalanan masyarakat Islam, ajaran zakat sudah mulai dilupakan dan disempitkan artinya. Zakat seolah-olah hanya merupakan kewajiban individu dan dilaksanakan dalam rangka menggugurkan kewajiban individu terhadap perintah Allah ini. Sehingga zakat menjadi apa yang sering disebut sebagai ibadah mahzhah individu
kaum muslimin. Dari suatu ajaran yang luas dan mendalam yang dikembangkan oleh Rasul dan Sahabat di Madinah, zakat menjadi sebuah ajaran yang sempit bersama mundurnya peranan Islam di panggung politik, ekonomi, ilmu, dan peradaban manusia.
Dalam akhir abad kedua puluh ini, bersamaan dengan kebangkitan kembali umat Islam diberbagai sektor kehidupan, ajaran zakat juga menjadi salah satu sektor yang mulai digali dari berbagai dimensinya. Meningkatnya kesejahteraan ummat Islam memberikan harapan baru dalam mengaktualisasikan zakat. Apalagi kebangkitan ekonomi di dunia
barat khususnya yang didasari pemikiran kapitalistik telah menimbulkan berbagai
masalah dalam kehidupan ini seperti; kesenjangan dalam kehidupan sosial ekonomi.
Tidak terkecuali Indonesia juga mengalami booming ekonomi, namun sekarang hancur lebur. Akibat dari itu mengakibatkan multi krisis yang berkepanjangan hingga hari ini. Disaat krisis seperti ini masyarakat masih mampu memberikan sebagian hartanya melalui zakat, infaq dan shodaqohnya untuk meringankan penderitaan saudaranya yang lain, baik yang di daerah krisis, bencana, konflik, dan daerah yang lain. Melihat potensi
dana masyarakat yang disalurkan dalam wujud zakat, infaq dan shodaqoh ini, maka sudah selayaknya untuk melakukan pengelolaan zakat secara benar dan baik serta memahami makna zakat sebagaimana mestinya.
Berpijak pada uraian latar belakang tersebut di atas, dan guna memberikan kejelasan mengenai segala sesuatu tentang zakat, maka dalam kesempatan ini penulis akan melakukan pengkajian terhadap pengertian dan ruang lingkup zakat ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul “ZAKAT DAN PENGATURANNYA DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA”.

B. Perumusan Masalah
Sesuai dengan judul yang penulis pilih, maka dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas adalah:
1. Bagaimanakah pengertian zakat menurut hukum positif di Indonesia ?
2. Bagaimanakah ruang lingkup zakat menurut hukum positif di Indonesia?

C. Pembahasan
1. Pengertian zakat menurut hukum positif di Indonesia
Secara bahasa zakat berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah. Seorang yang membayar zakat karena keimanannya niscaya akan memperoleh kebaikan yang banyak. Allah berfirman disurat At-Taubah ayat 103, artinya: "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka". Surat Al-Baqaraah 276, artinya: "Allah memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah". Disebutkan dalam hadist Rasulullah saw yang diriwatkan Bukhari dan Muslim, ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore : Artinya: "Ya Allah berilah orang berinfak gantinya". Dan berkata yang lain: "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak kehancuran".
Sedangkan menurut terminology Syari'ah zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu. Keterangan definisi : Kewajiban atas sejumlah harta tertentu, berarti zakat adalah kewajiban atas harta yang bersifat mengikat dan bukan anjuran. Kewajiban tersebut terkena kepada setiap muslim (baligh atau belum, berakal atau gila) ketika mereka
memiliki sejumlah harta yang sudah memenuhi batas nisabnya. Kelompok tertentu adalah mustakihin yang terangkum dalam 8 asnhaf. Waktu untuk mengeluarkan zakat adalah ketika sudah berlalu setahun (haul) untuk zakat emas, perak, perdagangan dll, ketika panen untuk hasil tanaman, ketika memperolehnya untuk rikaz dan ketika bulan Ramadhan sampai sebelum shalat 'Iid untuk zakat fitrah.
Zakat adalah rukun Islam ketiga yang diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua Hijriyah setelah diwajibkannya puasa Ramadhan dan zakat Fitrah. Ayat-ayat zakat, shodaqah dan infaq yang turun di Makkah baru berupa anjuran dan penyampaiannya menggunakan metodologi pujian bagi yang melaksanakannya dan cacian atau teguran bagi yang meninggalkannya. Zakat tidak diwajibkan kepada semua nabi dan rasul, karena zakat berfungsi sebagai alat pembersih kotoran dan dosa, sedangkan para nabi dan rasul terbebas dari dosa dan kemaksiatan karena mereka mendapat jaminan penjagaan dari Allah swt.Disamping itu kekayaan yang ada ditangan para nabi adalah titipan dan amanah Allah swt yang tidak dapat diwariskan.
Hukum positif tentang Zakat yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang terdiri dari 10 Bab dan dua puluh lima pasal. Pengertian Zakat menurut Pasal 2 adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang menjadi wajib zakat adalah setiap warga Negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau Badan yang dimiliki oleh orang muslim. Dari ketentuan ini jelas yang menjadi wajib zakat bukan hanya diri pribadi seorang muslim, tetapi juga Badan hukum milik seorang muslim.
Dalam Pasal 3 dikatakan bahwa pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki (orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat), mustahik (orang atau badan yang, berhak menerima zakat), dan amil zakat.
Sesuai dengan ketentuan Allah dalam Q.S. At-Taubah : 60 maka zakat didayagunakan untuk para mustahik seperti tercantum dalam ketentuan tersebut. Penentuan pemberian kepada mustahik berdasarkan skala prioritas kebutuhan dan dimanfaatkan untuk usaha yang produktif; dan mendahulukan mustahik dalam wilayahnya masing¬-masing. Pemanfaatan untuk usaha produktif tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun demikian tetap mendahulukan kebutuhan yang mendasar.

2. Ruang lingkup zakat menurut hukum positif di Indonesia
Dalam penjelasan tentang makna terminologis dari zakat, kita telah mengetahui bahwa zakat adalah kewajiban harta yang spesifik, memiliki syarat tertentu, alokasi tertentu dan waktu tertentu.
Harta yang akan dikeluarkan zakatnya harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:

a. Harta yang Halal dan Tahyyib.
Allah swt berfirman dalam surat Al-Baqaraah ayat 267, artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Disebutkan dalam hadist riwayat Muslim, Rasulullah saw bersabda: Artinya: "Allah tidak menerima zakat dari harta yang tidak sah"
b. Harta Produktif dan Berpotensi Produktif
Harta produktif adalah harta yang berkembang baik secara konkrit atau tidak. Secara konkrit dengan melalui pengembangan usaha, perdagangan, saham dll. Melalui tangan sendiri atau orang lain. Sedangkan tidak konkrit yaitu harta tersebut berpotensi untuk berkembang. Hal ini sesuai makna zakat itu sendiri yang berarti berkembang. Harta yang tidak berkembang dan tidak berpotensi untuk dikembangkan tidak wajib dikenai
zakat, sesuai dengan hadist Rasulullah saw riwayat Muslim: Artinya: "Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda dan budaknya".
c. Milik Penuh dan Berkuasa Menggunakannya
Pada hakekatnya kepemilikan mutlak pada harta adalah Allah swt, tetapi Allah swt memberikan hak kepemilikan harta kepada manusia secara terbatas. Harta yang dimiliki manusia secara penuh maksudnya bahwa manusia ia berkuasa memiliki dan memanfaatkannya secara penuh. Pemilikan dan pemanfaatan harta harus sesuai dengan aturan-aturan Islam.
d. Mencapai Nishab (Standar Minimal Harta yang dikenakan zakat)
Kekayaan yang belum mencapai nishab tidak terkena kewajiban zakat. Karena ketika seseorang belum memiliki kekayaan yang mencapai nishab, berarti masih masuk kategori miskin dan berhak mendapat zakat. Sedangkan ketika kekayaan mencapai nishab berarti sudah dapat mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dalam waktu satu tahun. Sehingga ketika dikenakan zakat tidak akan membahayakan dirinya dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.Rasulullah saw bersabda: Artinya: "Tidak wajib zakat kecuali orang kaya" (HR Bukhari, mualaq dan Ahmad, mausul). Dengan demikian, ukuran kaya di dalam Islam tidak harus menjadi kaya raya dan menunggu menjadi konlomerat untuk mau berzakat, melainkan setiap muzakki yang memiliki nisab harta
sudah harus merasa kaya dan berkewajiban zakat.
e. Surplus dari Kebutuhan Primer dan Terbebas dari Hutang
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, apakah harta yang dikeluarkan zakatnya harta penghasilan bersih seltelah dikurangi kebutuhan primer, ataukah harta penghasilan kotor? Disisi lain kebutuhan primer setiap orang bersifar relatif dan tidak terukur, sehingga jika syarat surplus dari kebutuhan primer diberlakukan dapat dipastikan banyak yang tidak membayar zakat, walaupun sudah memiliki harta melebihi
nishabnya. Ulama madzhab Hanafi menentukan bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya adalah harta yang bersih setelah dikurangi kebutuhan rutin. Alasan ini cukup kuat, karena zakat diwajibkan bagi orang kaya sesuai hadist, "tidak wajib bayar zakat kecuali
orang kaya". Manakala pendapatan seseorang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian diri dan keluarganya berarti dia tidak termasuk orang kaya, kecuali jika setelah kebutuhan keluarganya terpenuhi masih memiliki kelebihan yang mencapai nishab, berarti ia wajib
bayar zakat. Hal ini juga dikuatkan oleh ayat Al-Qur'an surat Al- Baqaraah 219, artinya: "Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah "Yang lebih dari keperluan". Menurut Ibnu Abbas 'sesuatu yang lebih' adalah 'sesuatu yang lebih dari kebutuhan keluarga'.Zakat juga hanya dikenakan jika terbebas dari hutang. Karena
hutang merupakan beban yang harus ditunaikan. Walaupun seseorang memiliki banyak kekayaan tetapi jika memiliki banyak hutang maka tidak termasuk orang kaya yang harus membayar zakat, apalagi jika hutangnya lebih besar dari kekayaan. Dan dalam Islam, seseorang yang memiliki banyak hutang disebut "gharimim" yang berhak menerima zakat. Jika melihat fenomena sekarang dimana mayoritas manusia memiliki
hutang, maka terdapat pendapat yang baik dan patut dipertimbangkan, yaitu hutang yang terbebas dari zakat adalah hutang yang jatuh tempo dan bukan hutang produktif untuk kegiatan bisnis yang masih berada dalam rasio wajar serta tidak jatuh pailit atau tidak terlilit hutang yang berpotensi menyuitkan hidupnya.
f. Haul (Sudah Berlalu Setahun)
Disebutkan dalam hadist riwayat Abu Dawud: Artinya: "Tidak wajib membayar zakat sampai sudah berlalu satu tahun"Ulama tabi'in dan fuqoha sepakat tentang ketentuan haul pada beberapa harta yang wajib dizakati seperti emas, perak, perdagangan, hewan dll. Dan haul tidak berlaku pada zakat pertanian, rikaz, barang tambang dll. Untuk hasil
pertanian disebutkan dalam surat Al An'aam aya 141, artinya: "Dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilmu (dengan dikeluarkan zakatnya)".
Menurut Pasal 11 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, jenis-jenis zakat meliputi:
(1) Zakat terdiri atas zakat mal dan zakat fitrah
(2) Harta yang dikenai zakat adalah :
a. emas, perak dan uang
b. perdagangan dan perusahaan
c. hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan;
d. hasil pertambangah;
e. hasil peternakan;
f. hasil pendapatan dan jasa;
g. rikaz.
(3) Penghitungan zakat mal menurut nishab, kadar, dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum agama.

D. Kesimpulan
1. Pengertian Zakat menurut hukum positif yang berlaku adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang menjadi wajib zakat adalah setiap warga Negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau Badan yang dimiliki oleh orang muslim. Dari ketentuan ini jelas yang menjadi wajib zakat bukan hanya diri pribadi seorang muslim, tetapi juga Badan hukum milik seorang muslim
2. Ruang lingkup zakat meliputi jenis-jenis harta yang diatur dalam Pasal 11 Undang Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999.

TANGGUNG JAWAB PT. PLN KEPADA KONSUMEN BERKAITAN DENGAN PADAMNYA ALIRAN LISTRIK

A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi telah membawa dampak yang sangat besar dalam tatanan kehidupan sekarang ini. Banyak pekerjaan yang dulunya mustahil dilakukan namun dengan adanya teknologi menjadikan pekerjaan tersebut dapat dilakukan oleh manusia. Kemajuan teknologi sekarang ini menjadikan manusia atau masyarakat mudah dalam melakukan kegiatan di segala bidang, baik bidang transportasi, informasi, dan bidang-bidang lainnya.
Semua teknologi yang ada saat sekarang ini, pada umumnya pengoperasionalannya bergantung pada listrik. Listrik secara umum dapat dikatakan telah banyak membantu manusia dalam melakukan berbagai kegiatan. Dapat dibayangkan apabila sehari saja hidup manusia ini tanpa adanya listrik, maka serasa dunia menjadi lumpuh total.
Pengelolaan listrik di Indonesia pada saat ini dikelola oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang selanjutnya disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan dengan sistem perjanjian jual beli. Penggunaan sistem jual beli listrik antara PT. PLN dengan masyarakat pengguna jelas tertuang dalam Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL).


SPJBTL dibuat secara sepihak, yakni oleh PT. PLN. Bentuk perjanjian yang dibuat secara sepihak tersebut tentunya hanya mengunttungkan salah satu pihak saja, dalam hal ini adalah PT. PLN. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktik apabila konsumen pengguna listrik terlambat membayar atas penggunaan listrik, maka pihak PT. PLN tidak segan-segan menarik denda keterlambatan tersebut. Namun, di salah satu pihak apabila listrik padam, pihak PT. PLN seolah-olah tidak mau tahu.
Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa mati atau padamnya listrik adalah hal biasa terjadi, padahal rekening listrik tidak boleh terlambat dibayar oleh masyarakat konsumen. Masyarakat memang tidak dapat berbuat banyak selain menerimanya dengan alasan yang tidak logis.
Perlu ditegaskan bahwa hak konsumen adalah merupakan kewajiban dari pelaku usaha, dan sebaliknya kewajiban konsumen merupakan hak dari pelaku usaha. Dalam melihat pelayanan yang dilakukan oleh PT. PLN, maka dapat dikatakan masyarakat selaku konsumen telah melaksanakan kewajibannya, yaitu membayar sesuai dengan tarif yang sudah ditentukan. Namun masyarakat tidak memperoleh haknya untuk kenyamanan dan keamanan berupa pemadaman listrik yang secara tiba-tiba ataupun terjadwal yang dapat berakibat pada terganggunya aktivitas sehari-hari. Terlebih lagi bagi mereka konsumen listrik yang mata pencahariannya tergantung dengan kontinyuitas listrik, dengan padamnya listrik ini jelas sangat berpengaruh terhadap kualitas pekerjaan mereka.
Perlakuan yang diberikan oleh pihak PT. PLN selaku perusahaan listrik negara seringkali membuat jengkel masyarakat, masyarakat diperlakukan tidak sebagaimana mestinya, sering dalam keadaan terpaksa menerima perlakuan tersebut karena masyarakat memang sangat membutuhkannya, padahal juga hak masyarakat untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Dalam keadaan demikian sebenarnya perundang-undangan sudah mengaturnya. Dalam Pasal 45 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dijelaskan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha, atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa, yaitu penyelesaian secara damai. Anggota masyarakat yang merasa dirugikan dapat melakukan gugatan baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama, dan dapat juga dilakukan oleh Lembaga perlindungan konsumen.
Mendasarkan pada uraian latar belakang sebagaimana tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh mengenai tanggung jawab PT. PLN kepada konsumen bilamana terjadi padamnya aliran listrik ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul “ TANGGUNG JAWAB PT. PLN KEPADA KONSUMEN BERKAITAN DENGAN PADAMNYA ALIRAN LISTRIK”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tanggung jawab PT. PLN kepada konsumen bilamana terjadi padamnya listrik ?
2. Bagaimana upaya konsumen listrik apabila PT. PLN tidak melaksanakan tanggung jawabnya?

C. Pembahasan
1. Tanggung Jawab PT. PLN Kepada Konsumen Bilamana Terjadi Padamnya Listrik
Dalam memenuhi kebutuhan akan listrik, masyarakat dapat mengajukan permohonan penyambungan aliran listrik kepada PT. PLN sebagai pihak yang berwenang dalam hal pendistribusian aliran listrik. Pengajuan permohonan disampaikan kepada PT. PLN dengan melampirkan beberapa syarat dan pernyataan kesanggupan untuk mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh PT. PLN.
Atas pengajuan permohonan untuk menjadi pelanggan listrik pada PT. PLN tersebut, pihak calon pelanggan/calon konsumen diwajibkan untuk menandatangani Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL).
SPJBTL tersebut dibuat secara sepihak, yakni oleh PT. PLN. Dengan diberikannya judul perjanjian antara PT. PLN dengan konsumen sebagai perjanjian jual beli, maka dalam pelaksanaannya-pun identik dengan jual beli pada umumnya.
Jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Dari rumusan Pasal 1457 KUH Perdata tersebut dapat ditarik pengertian bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.
Dengan telah dibayarnya Biaya Penyambungan dan Uang Jaminan Pelanggan oleh konsumen, maka pada saat itu juga konsumen dinyatakan sah sebagai pembeli atau pelanggan PT. PLN yang berkewajiban membayar harga satuan listrik sesuai yang dipergunakan dalam setiap bulannya dan berhak menikmati aliran listrik sebagaimana telah diperjanjikan.
Di pihak PT. PLN, dengan telah dibayarnya Biaya Penyambungan dan Uang Jaminan Pelanggan oleh konsumen, maka PT. PLN mempunyai kewajiban untuk menyerahkan atau memberikan aliran listrik kepada konsumen tersebut dan berhak mendapatkan bayaran atas penggunaan aliran litrik oleh konsumennya. Hal tersebut adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 1457 KUH Perdata yang merumuskan jual beli sebagai “suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
Dalam praktek jual beli aliran listrik antara PT. PLN dengan konsumen, apabila konsumen lalai melakukan pembayaran maka pihak PT. PLN akan memberikan sanksi berupa biaya denda yang disertai pemutusan aliran listrik, sedangkan pada pihak PT. PLN tanggung jawab pemenuhan kewajiban terkesan tidak menanggung beban apapun. Apabila pihak PT. PLN tidak dapat melaksanakan pemberian aliran listrik secara berkesinambungan atau mengalami gangguan yang menjadikan terhambatnya pelaksanaan kewajibannya, baik teknis maupun non teknis, Pihak PT. PLN tidak sedikitpun memiliki beban tanggung jawab. Hal tersebut didasari dari kenyataan yang ada selama ini, hampir disetiap padamnya listrik PT. PLN seolah-olah tidak tahu menahu, ataupun terkesan tidak berkepentingan walaupun dalam hal ini PT. PLN mencoba melakukan perbaikan atas akibat padamnya listrik.
PT. PLN merasa bahwa bagaimanapun juga konsumen tetap membutuhkan aliran listrik yang hanya bisa didapat dari PT. PLN, sehingga mau tidak mau pihak konsumen harus tetap sabar dan menunggu. Dalam hal ini timbul kesan PT. PLN menunjukkan kekuasaannya sebagai pemagang hak monopoli penyalur atau penjual aliran listrik di Indonesia.

2. Upaya Konsumen Listrik Apabila PT. PLN Tidak Melaksanakan Tanggung Jawabnya
Dalam hubungan hukum yang terjadi karena adanya perjanjian, tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu dan sebaliknya. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi maka pihak tersebut dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi. Pihak-pihak yang terlibat dalam jual beli aliran listrik terdiri dari dua pihak, yaitu konsumen dan PT. PLN, sedangkan sesuatu yang dituntut tersebut dinamakan prestasi yang dalam hal ini adalah aliran listrik.
Dengan demikian wanprestasi dapat disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu kemungkinan wanprestasi oleh konsumen dan kemungkinan wanprestasi oleh PT. PLN (Persero).
a. Wanprestasi oleh pihak konsumen
Telah disampaikan di atas bahwa prestasi yang harus dilakukan atau diberikan oleh pihak konsumen adalah pemenuhan kewajiban-kewajiban yang melekat pada konsumen itu sendiri berdasarkan perjanjian yang telah dibuat oleh kedua belah pihak. Sebagai timbal balik dari hak yang diperoleh, konsumen mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai berikut:
(a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
(b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
(c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
(d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Adapun kewajiban utama dari konsumen listrik menurut SPJBTL adalah terlaksananya pembayaran rekening listrik sesuai dengan batas waktu sebagaimana telah diperjanjikan. Apabila pihak konsumen tidak melakukan pembayaran pada waktu yang telah ditentukan oleh PT. PLN tersebut, maka pihak PT. PLN akan memberikan surat peringatan kepada konsumen untuk segera melakukan pembayaran, dan apabila ternyata konsumen masih belum melakukan pembayaran, maka pihak PT. PLN akan melakukan pemutusan sementara aliran listrik. Selanjutnya apabila konsumen hendak melakukan pembayaran penggunaan listrik yang telah dilakukan pemutusan alirannya oleh PT. PLN, konsumen dikenakan biaya denda yang besarnya telah diperjanjikan dan aliran lisrik disambung kembali. Sebaliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan konsumen belum juga melakukan pembayaran, maka pihak PT. PLN akan melakukan pemutusan permanen dengan mengambil beberapa instalasi listrik yang terdapat di rumah konsumen. Dengan demikian apabila pihak konsumen mengharapkan penyambungan aliran listrik kembali diberlakukan persyaratan seperti pemasangan baru dengan tetap menyelesaikan kewajiban yang terhutang.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa apabila konsumen melakukan wanprestasi, maka kepadanya diberikan sanksi berupa pembayaran denda hingga sampai pada penghentian permanen aliran listrik. Dengan demikian jelas terlihat bahwa apabila konsumen wanprestasi maka upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pihak PT. PLN adalah memutuskan sambungan aliran listriknya.
b. Wanprestasi oleh pihak PT. PLN
Pihak PT. PLN selaku debitor atau produsen wajib memenuhi prestasi yang berupa pemenuhak hak-hak konsumen. Adapun mengenai hak-hak konsumen, disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa konsumen mempunyai hak-hak sebagai berikut:
(a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
(b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
(c) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
(d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
(e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
(f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
(g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
(h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

SPJBTL yang telah dibuat dan telah ditandatangani kedua belah pihak tidak banyak memuat kewajiban pihak PT. PLN, kewajiban PT. PLN yang nampak pada SPJBTL hanyalah berupa penyambungan aliran listrik.
Untuk lebih mengetahui upaya penyelesaian apabila PT. PLN yang dalam hal ini bertindak sebagai debitor melakukan wanprestasi, berikut ini akan disampaikan ketentuan-ketentuan mengenai wanprestasi beserta penyelesaiannya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pendapat para ahli;
Wanprestasi dapat disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu :
1) Karena kesalahan debitor, baik dengan sengaja maupun tidak, tidak dipenuhi kewajiban ataupun karena kelalaian.
2) Karena keadaan memaksa (Overmacht) yaitu di luar kemampuan debitor.
Untuk menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Wanprestasi seseorang debitor dapat berupa empat macam keadaan, yaitu ;
(a) Debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali.
(b) Debitor memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru.
(c) Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu atau terlambat.
(d) Debitor melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Dalam hal ini wanprestasi yang sering dilakukan oleh pihak PT. PLN adalah berupa pemenuhan prestasi dengan tidak baik atau keliru sehingga aliran listrik menjadi tidak lancar atau sering mengalami padam atau pemadaman.
Wanprestasi yang demikian ini disadari atau tidak disadarai membawa akibat yang merugikan bagi kreditor yang dalam hal ini adalah konsumen, oleh karenanya sangat wajar apabila sejak saat tersebut debitor berkewajiban mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat dari pada wanprestasi tersebut. Dalam hal ini konsumen dapat menuntut ;
a) Pemenuhan perikatan
b) Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
c) Ganti rugi
d) Pembatalan persetujuan timbal balik
e) Pembatalan dengan ganti rugi.
Ganti rugi tersebut dapat merupakan pengganti dari pada prestasi pokok, akan tetapi dapat juga sebagai tambahan di samping prestasi pokoknya. Dalam hal ganti rugi sebagai pengganti prestasi pokok terjadi karena debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali, sedangkan ganti rugi sebagai tambahan di samping prestasi pokok adalah karena debitor terlambat memenuhi prestasi.
PT. PLN dapat disebut telah melakukan perbuatan melawan hukum. PT. PLN dapat dijerat dengan Pasal 1365 KUH Perdata, yakni kelalaian yang mengakibatkan kerugian, gangguan atau kerusakan yang berakibat tidak lancarnya aliran listrik seharusnya bisa diantisipasi, sebab setiap perusahaan seperti PT. PLN pasti mempunyai tenaga perawatan.

D. Kesimpulan
1. Tanggung jawab PT. PLN kepada konsumen bilamana terjadi padamnya listrik sesuai peraturan perundang-undangan adalah memberikan ganti rugi sesuai dengan nilai kerugian hyang diderita konsumen.
2. Upaya konsumen listrik apabila PT. PLN tidak melaksanakan tanggung jawabnya, konsumen dapat mengajukan pemenuhan perikatan, pemenuhan perikatan dengan ganti rugi, ganti rugi, pembatalan dengan ganti rugi dan/atau pembatalan persetujuan timbal balik kepada PT. PLN.

KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERSEKUSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Peradaban dunia pada saat ini ditandai dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir disemua sektor k...